Firman Allah Subhanahu wata'ala: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. At Taubah: 100)

Sabtu, 05 Oktober 2024

TEGAR MENGHADAPI KEMATIAN (9)

Pelipur Lara untuk Orang yang Ditinggal Mati Orang Tercintanya, untuk Orang yang Sedang Sakit Parah, dan untuk Orang yang Menghadapi Kematian

Judul Asli: الثبات عند الممات | Ats-Tsabāt 'Indal Mamāt

Karya: Al-Imam Abul Faraj Abdurrahman bin Ali ( Ibnul Jauzi ) rahimahullah,

KISAH ORANG-ORANG YANG SABAR DAN RIDHA SAAT TERTIMPA MUSIBAH 

Berkata Abu Juhaifah¹: kami sedang pergi menuju Mihran. Saat itu ada seorang dari kabilah Asad yang ikut menyertai kami. Tiba-tiba dia menangis. Aku bertanya kepadanya, "Apakah (kamu) ini sedang berkeluh kesah?" Dia menjawab, "Tidak. Namun, anakku meninggal dalam perjalanan, padahal aku ingin dia bisa bersamaku sehingga kami bisa bersama-sama masuk surga".

Abu Muslim Al-Khaulani² berkata: "Seandainya aku dikarunai seorang anak yang Allah memberikan kepadanya pertumbuhan yang baik hingga sempurna masa keremajaannya dan dia pada keadaan yang paling membuatku kagum dengannya, kemudia Allah mewafatkannya, hal itu lebih aku cintai daripada aku memiliki dunia dan seisinya".

Hatim Al-Asham³ berkata: kami bertemu dengan orang Turki. Saat itu antara kami dengannya sedang terjadi peperangan. 

Orang Turki itu melemparku dengan tali laso sehingga membuatku jatuh dari kudaku. Dia pun turun dari kendaraannya dan duduk di atas dadaku. Dia memegang janggutku, lalu mengeluarkan sebilah pisau dari sepatunya untuk menyembelihku.

Demi Allah, saat itu hatiku tidak berada (kerisauan) karena hendak disembelih, tidak pula dalam keadaan tenangnya.

Namun, hatiku seakan berada di sisi Allah sedang melihat takdir yang telah ditetapkan untukku. Aku berkata berkata, "Ya Allah, Engkau telah menetapkanku disembelih oleh orang ini, maka jadikanlah itu pada kepala dan mataku. Sesungguhnya aku adalah milik-Mu dan kepunyaan-Mu. 

Ketika aku sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba ada seorang muslim yang melepaskan panah ke arah orang Turki itu tepat mengenai tenggorokannya. Dia pun jatuh dari dadaku. Dengan segera aku mengambil pisau darinya lalu menyembelihnya.

Sungguh, yang demikian itu akan terjadi bilamana hati kalian selalu terikat dengan Allah, sehingga kamu melihat keajaiban-keajaiban kelembutan-Nya, yang tidak akan kalian lihat ada pada ayah dan ibu kalian.⁴

Berkata seorang penyair, "Tidaklah luka itu akan terasa sakit bilamana kalian ridha terhadapnya".

Sungguh, betapa banyak yang tidak mendapatkan taufik saat ditinggal mati oleh orang tercintanya. Di antara mereka ada merobek bajunya, menampar pipinya, bahkan ada yang murka.

Aku pernah bertemu dengan seorang yang sudah lanjut usia; umurnya hampir 80 tahun. Ia selalu menjaga shalat jama'ah.

Suatu ketika anaknya meninggal dunia. Diapun mengatakan, "Tidak sepatutnya kalian berdoa kepada Allah. Dia tidak akan mengabulkan permohonan siapapun". Kemudian dia mengatakan, "Sesungguhnya Allah bersikeras terhadap kita sehingga tidak membiarkan kita mempunyai anak".

Aku pun menyadari kalau dia melakukan shalat-shalat dan perbuatan baik hanya kebiasaan saja tidak dia lakukan di atas dasar ilmu dan iman. Mereka adalah yang beribadah kepada Allah di tepian.⁵

#TERJEMAH KITAB

https://t.me/RaudhatulAnwar1

Catatan:

1. Abu Juhaifah Wahb bin Abdillah As-Siwai. Salah satu shahabat Nabi yang muda. Seumuran dengan Ibnu Abbas. Lihat Siyar A'lamin Nubala 3/203-204

2. Abu Muslim Al-Khaulani; Abdullah bin Tsaub. Pemuka Tabi'in. Menjumpai zaman jahiliyyah dan masuk Islam di masa hidupnya Nabi ﷺ, namun belum pernah bertemu beliau. Lihat Siyar A'lamin Nubala 4/7-8.

3. Hatim bin Unwan Al-Asham; seorang panutan yang terkenal dengan kezuhudan dan kalimat hikmahnya. Dijuluki dengan Luqman Hakimnya ummat ini. Beliau berasal dari daerah Balkh. Lihat Siyar A'lamin Nubala 11/484-485.

4. Ibnul Jauzi menyebutkan sanadnya sendiri dari Umar bin Mutharrif, dari Ja'far bin Ahmad, dari Abul Qasim Al-Azih, dari Abul Hasan bin Jahdham, dari Muhammad bin Abdillah bin Hafsh bin Ali bin Al-Muwaffiq, dari Hatim Al-Asham.

5. Allah Ta'ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepian; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata". Qs. Al-Hajj: 11

Disebutkan dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas menerangkan,

"Dahulu ada seorang yang datang ke Madinah; ketika istrinya melahirkan anak laki-laki dan beranak kudanya, dia berkata: "Islam adalah agama yang baik".

Namun, jika istrinya tidak melahirkan, kudanya juga tidak beranak, dia berkata: "Islam adalah agama yang jelek".¹

Beliau juga menerangkan, "Fitnah maksudnya adalah bencana. Dahulu ada seorang yang datang ke Madinah, dan madinah itu kota yang (dikenal) menjangkit penyakit demam padanya. Jika dia sehat tubuhnya, kudanya melahirkan anakan yang bagus, dan istrinya juga melahirkan anak laki-laki, dia berkata: "Semenjak aku masuk agama Islam ini, tidaklah menimpaku kecuali kebaikan".

Namun, jika dia terkena demam kota Madinah, istrinya melahirkan anak perempuan, dan harta sedekah lambat dibagikan kepadanya, maka syaithan datang kepadanya (memberi was-was), dia pun berkata: "Demi Allah, semenjak aku masuk agamamu ini, tidaklah menimpaku kecuali kejelekan".

Dan itulah yang dimaksud dengan fitnah.

Al-Baghawy rahimahullah menerangkan,

Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa (di tepian ) maksudnya di atas keraguan. 

Asal katanya berasal dari ( حرف الشيء ) yang artinya ujung sesuatu. Seperti ujung tepian gunung dan tembok yang dia tidak menetap di atasnya.

Maka dikatakan untuk orang yang ragu terhadap agama,

Bahwa dia menyembah Allah dengan berada di tepian, karena dia berada di tepi dan ujung agama; tidak masuk ke dalamnya dengan mantap dan kokoh.

Ibarat orang yang berdiri di tepian gunung yang berguncang tidak menetap, yang memungkinnya jatuh ke salah satu jurangnya karena lemahnya tempat pendiriannya itu". Lihat Shahih Bukhari, no. 4747, Tafsir Ath-Thabary, (16 / 472), dan Tafsir Al-Baghawy (3 / 326).