oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?
Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?
Telah menjadi
ciri perjuangan Iblis dan tentara-tentaranya untuk terus berupaya
mengelabui manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya, yang hak
bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi pelaku maksiat
yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku kemaksiatan
bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar pemecah belah
ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan manusia menuju
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- merupakan tujuan tertinggi mereka.
Tidak ada satupun pintu
kecuali akan dilalui Iblis dan tentaranya. Dan tidak ada satupun amalan
kecuali akan dirusaknya, atau minimalnya mengurangi nilai amalan
tersebut di sisi Allah -Subhanahu wa Ta'ala-. Iblis mengatakan di
hadapan Allah -Jalla wa 'ala-:
“Engkau telah
menyesatkanku maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu
yang lurus dan aku akan benar-benar mendatangi mereka dari arah depan
dan belakang, dan samping kiri dan samping kanan.” (Al-A’raf: 17)
Dalam upaya mengelabui
mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa ahli kebenaran itu adalah orang
yang harus dijauhi dan dimusuhi, dan kebenaran itu menjadi sesuatu yang
harus ditinggalkan, dan dia mengatakan:
“Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 17)
Demikian halnya yang
terjadi pada istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat
pada gambaran orang-orang yang banyak beribadah dan orang-orang yang
berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum
muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Walhasil, nama
Ahlus Sunnah menjadi rebutan orang. Mengapa demikian? Apakah
keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Dan siapakah
mereka sesungguhnya?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus merujuk kepada keterangan
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- dan ulama salaf dalam
menentukan siapakah mereka yang sebenarnya dan apa ciri-ciri khas
mereka. Jangan sampai seperti yang digambarkan sebuah sya’ir:
Semua mengaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila tidak mengakui yang demikian itu
Yaitu, tidak ada maknanya kalau hanya sebatas pengakuan, sementara dirinya jauh dari kenyataan.
Secara fitrah dan akal dapat kita bayangkan, sesuatu yang diperebutkan
tentu memiliki keistimewaan dan nilai tersendiri. Dan sesuatu yang
diakuinya, tentu memiliki makna jika mereka bersimbol dengannya. Mereka
mengakui bahwa Ahlus Sunnah adalah pemilik kebenaran. Buktinya, setelah
mereka memakai nama tersebut, mereka tidak akan ridha untuk dikatakan
sebagai ahli bid’ah dan memiliki jalan yang salah. Bahkan mereka akan
mengatakan bahwa dirinya merupakan pemilik kebenaran tunggal sehingga
yang lain adalah salah. Mereka tidak sadar, kalau pengakuannya tersebut
bisa jadi merupakan langkah untuk membongkar kedoknya sendiri dan
memperlihatkan kebatilan jalan mereka. Yang akan mengetahui hal yang
demikian itu adalah yang melek di antara mereka.
As-Sunnah
Berbicara tentang
As-Sunnah secara bahasa dan istilah sangat penting sekali. Di samping
untuk mengetahui hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang
mengakui sebagai Ahlus Sunnah, padahal bukan. Mendefinisikan As-Sunnah
ditinjau dari beberapa sisi yaitu menurut bahasa, syariat dan menurut
generasi pertama, ahlul hadits, ulama ushul fiqih, dan ahli fiqih.
As-Sunnah menurut Bahasa
As-Sunnah menurut bahasa adalah As Sirah (perjalanan), yang baik ataupun yang buruk. Khalid bin Zuhair Al-Hudzali berkata:
Jangan kamu sekali-kali gelisah karena sunnah yang kamu tempuh
Orang yang pertama ridha terhadap suatu sunnah adalah yang menjalaninya.
Sunnah dalam ucapan tersebut di atas berarti jalan.
As Sunnah menurut Syariat dan Generasi Pertama (Sahabat Nabi)
Apabila terdapat kata
sunnah dalam hadits Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- atau
dalam ucapan para shahabat dan tabi’in, maka yang dimaksud adalah makna
yang mencakup dan umum. Mencakup hukum-hukum baik yang berkaitan
langsung dengan keyakinan atau amal, baik hukumnya wajib, sunnah atau
mubah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (10/341) berkata: “Telah
tetap bahwa kata sunnah jika terdapat dalam hadits Rasulullah
-shallallahu 'alaihi wa sallam-, maka yang dimaksud bukanlah sunnah
sebagai lawan wajib (apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan tidak berdosa, pent.).”
Ibnu ‘Ajlan berkata dalam kitab Dalilul Falihin (1/415) ketika beliau
mensyarah hadits fa’alaikum bisunnati (maka wajib atas kalian berpegang
dengan sunnahku): “Artinya jalan dan langkahku yang aku berjalan di
atasnya, berupa apa-apa yang telah aku rincikan kepada kalian berupa
hukum-hukum i’tiqad (keyakinan) dan amalan-amalan, baik yang wajib,
sunnah, dan sebagainya.”
Al-Imam Ash-Shan’ani di dalam kitab Subulus Salam (1/187), ketika beliau
mensyarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri -radiyallahu 'anhu-, berkata: “Di
dalam hadits tersebut disebutkan kata ‘Ashabta As Sunnah’ (kamu telah
menepati sunnah), yaitu jalan yang sesuai dengan syariat.”
Jika meneliti nash-nash yang menyebutkan kata As Sunnah, maka akan jelas
apa yang dimaukan dengan kata tersebut yaitu: “Jalan yang terpuji dan
langkah yang diridhai yang telah dibawa oleh Rasulullah -shallallahu
'alaihi wa sallam-.” Dari sini jelaslah kekeliruan orang-orang yang
menisbahkan diri kepada ilmu yang menafsirkan kata sunnah dengan istilah
ulama fiqih saja sehingga mereka terjebak dalam kesalahan yang fatal.
As-Sunnah menurut Ahli Hadits
As-Sunnah menurut jumhur
ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan
dari Rasulullah r baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan
sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).
As-Sunnah menurut Ahli Ushul Fiqih
Menurut ahli ushul fiqih, As-Sunnah adalah dasar dari dasar-dasar hukum syariat dan juga dalil-dalilnya.
Al-Amidi dalam kitab Al-Ihkam (1/169) mengatakan: “Apa-apa yang datang
dari Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- berupa dalil-dalil
syariat, yang bukan dibaca (maksudnya bukan Al-Qur`an, red) dan bukan
mu’jizat…”
As-Sunnah Menurut Ulama Fiqih
As Sunnah menurut mereka adalah segala sesuatu yang jika dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.
Di sini bisa dilihat, mereka yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah –dengan
hanya menyandarkan istilah ahli fiqih–, tidaklah memiliki dalil yang
kokoh sedikitpun dan tidak memiliki rujukan. Jika merujuk pada istilah
syariat dan generasi pertama, mereka benar-benar telah sangat jauh. Jika
bersandar pada istilah ulama ushul, merekapun tidak akan menemukan
jawabannya. Jika menggunakan istilah ulama hadits, orang-orang yang
mengaku Ahlus Sunnah tidak layak sedikitpun untuk menyandang istilah
tersebut.
Barangkali hanya istilah bahasa yang bisa dijadikan ‘dalil’. Itupun,
tidak bisa dijadikan hujjah dalam melangkah, terlebih dalam menghalalkan
sesuatu atau mengharamkannya.
Ahlus Sunnah dan Ciri-cirinya
Jadi, definisi Ahlus
Sunnah seperti dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, adalah yang
berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan apa yang
telah disepakati oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. (Majmu’ Fatawa, juz
3 hal. 375)
Adapun ciri-ciri Ahlus Sunnah yang menunjukkan hakikat mereka adalah:
1. Mereka adalah
orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa
sallam- dan jalan para shahabatnya, yang menyandarkan pada Al-Qur‘an dan
As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Yaitu pemahaman generasi
pertama umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah
mereka. Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda:
“Sebaik-baik manusia
adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian
orang-orang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
2. Mereka
kembalikan segala bentuk perselisihan yang terjadi di kalangan mereka
kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dan siap menerima apa-apa yang telah
diputuskan oleh Allah -'Azza wa Jalla- dan Rasulullah -shallallahu
'alaihi wa sallam-. Allah -Ta'ala- berfirman:
“Maka jika kalian
berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah
jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu
adalah baik dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
“Tidak pantas bagi
seorang mukmin dan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu
perkara untuk mereka, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan
mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah
sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
3. Mereka mendahulukan ucapan Allah -Jalla Sya'nuhu- dan Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam- di atas ucapan selainnya.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian mendahulukan (ucapan selain Allah dan Rasul)
di atas ucapan Allah dan Rasul dan bertaqwalah kalian kepada Allah
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Menghidupkan Sunnah
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- baik dalam ibadah mereka,
akhlak mereka, dan dalam semua sendi kehidupan, sehingga mereka menjadi
orang asing di tengah kaumnya. Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa
sallam- bersabda tentang mereka:
“Sesungguhnya Islam
datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dan keadaan asing, maka
berbahagialah orang-orang yang dikatakan asing.” (Shahih, HR. Muslim
dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar )
4. Mereka adalah
orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan mereka
tidak fanatik kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah
-shallallahu 'alaihi wa sallam-. Al-Imam Malik -rahimahullah-
mengatakan: “Setiap orang ucapannya bisa diambil dan bisa ditolak,
kecuali ucapan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-.”
5. Mereka adalah orang-orang yang menyeru segenap kaum muslimin
agar bepegang dengan Sunnah Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-
dan sunnah para shahabatnya.
6. Mereka adalah orang-orang yang memikul amanat amar ma’ruf dan
nahi munkar sesuai dengan apa yang dimaukan Allah -Subhanahu wa Ta'ala-
dan Rasul-Nya. Dan mereka mengingkari segala jalan bid’ah (lawannya
sunnah) dan mengingkari kelompok-kelompok yang akan mencabik-cabik
barisan kaum muslimin.
7. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari undang-undang yang
dibuat oleh manusia yang menyelisihi undang-undang Allah -'Azza wa
Jalla- dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-.
8. Mereka adalah orang-orang yang siap memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama menghendaki yang demikian itu.
Asy-Syaikh Rabi’ dalam kitab Makanatu Ahlil Hadits (hal. 3-4) berkata:
“Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para
shahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah r dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mereka
mendahulukan keduanya di atas setiap ucapan dan petunjuk, baik yang
terkait dengan aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlak, politik, maupun
persatuan. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip
agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah
-Ta'ala- kepada hamba dan Rasul-Nya Muhammad -shallallahu 'alaihi wa
sallam-. Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan
penuh semangat dan kesungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi
yang melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui
batas, kerancuan para penyesat, dan takwil orang-orang bodoh. Mereka
adalah orang-orang yang selalu mengintai setiap kelompok yang
menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij,
Rafidhah (Syi’ah), Murji`ah, Qadariyah, dan setiap orang yang
menyeleweng dari manhaj Allah -Ta'ala-, mengikuti hawa nafsu pada setiap
waktu dan tempat. Dan mereka tidak pernah mundur karena cercaan orang
yang mencerca.”
Ciri Khas Mereka;
Mereka adalah umat yang
baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di tengah umat yang sudah
rusak dari segala sisi. Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-
bersabda:
“Berbahagialah orang
yang asing itu, (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di tengah
orang-orang jahat yang banyak. Dan orang yang tidak menaati mereka lebih
banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad, lihat
Shahihul Jami’ no. 3921)
Ibnul Qayyim dalam
kitabnya Madarijus Salikin (3/199-200), berkata: “Ia adalah orang asing
dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama manusia. Dia asing dalam
berpegangnya terhadap As Sunnah karena manusia berpegang kepada bid’ah,
asing pada keyakinannya dikarenakan telah rusak keyakinan manusia, asing
pada shalatnya dikarenakan jeleknya shalat manusia, asing pada jalannya
dikarenakan sesat dan rusaknya jalan manusia, asing pada nisbahnya
dikarenakan rusaknya nisbah manusia, asing dalam pergaulannya bersama
manusia dikarenakan dia bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh
hawa nafsu manusia.”
Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia
tidak menemukan seorang penolong dan pembela. Dia sebagai orang yang
berilmu di tengah orang-orang jahil, pemegang As Sunnah di tengah ahli
bid’ah, penyeru kepada Allah -'Azza wa Jalla- dan Rasul-Nya di tengah
orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, penyeru kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran di tengah kaum di mana sesuatu
yang ma’ruf menjadi munkar dan yang munkar menjadi ma’ruf.”
Ibnu Rajab dalam kitab Kasyfu Al-Kurbah Fi Washfi Ahlil Ghurbah (hal.
16-17) mengatakan: “Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan
inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli kiblat menjadi
berkeping-keping. Sebagian mengkafirkan yang lain sehingga mereka
menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah dan berpartai-partai yang
dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak ada yang selamat dari
semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah yang disebutkan dalam
sabda Rasulullah r: “Dan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang
membela kebenaran dan tidak ada seorangpun yang mampu memudharatkannya
dari siapapun yang menghinakan dan menyelisihi mereka, sampai datangnya
keputusan Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”
Mereka adalah orang yang di akhir jaman dalam keadaan asing sebagaimana
telah disebutkan dalam hadits, yaitu orang-orang yang memperbaiki ketika
rusaknya manusia. Merekalah orang-orang yang memperbaiki Sunnah
Rasulullah r yang telah dirusak oleh manusia. Merekalah orang-orang yang
lari dari fitnah dengan membawa agama mereka. Mereka adalah orang yang
sangat sedikit di tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati
pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak
didapati satu orangpun sebagaimana permulaan Islam.
Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadits ini. Al-Auza’i
-rahimahullah- mengatakan tentang sabda Rasulullah -shallallahu 'alaihi
wa sallam-: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam
keadaan asing”: “Adapun Islam itu tidak akan pergi, akan tetapi Ahlus
Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan
satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji As
Sunnah dan menyifatinya dengan asing serta menyifati pengikutnya dengan
kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum Ath-Tha`ifah Al-Manshurah,
hal. 103-104)
Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan
hidup selalu dalam prosentase yang sedikit. Allah -Ta'ala- berfiman:
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba`: 13)
Dari pembahasan singkat
ini, akan jelas siapa sebenarnya Ahlus Sunnah itu dan siapa-siapa yang
hanya mengaku-ngaku Ahlus Sunnah. Benarlah ucapan seorang penyair yang
mengatakan:
Semua mengaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila tidak mengakui yang demikian itu
Jadi, Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.
Wallahu a’lam.