Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
KETENTUAN TAQDIR ALLAH
al-Imam al-Muzani rahimahullah menyatakan:
فَالْخلْقُ
عَامِلُوْنَ بِسَابِقِ عِلْمِهِ وَنَافِذُوْنِ لِمَا خَلَقَهُمْ لَهُ مِنْ
خَيْرٍ وَشَرٍّ لاَ يَمْلِكُوْنَ لِأَنْفُسِهِمْ مِنَ الطَّاعَةِ نَفْعًا
وَلاَ يَجِدُوْنَ إِلَى صَرْفِ اْلمعْصِيَةِ عَنْهَا دَفْعًا
Para makhluk adalah para pelaku
perbuatan (yang terjadi) sesuai Ilmu-Nya (yang mendahului terjadinya
perbuatan tersebut), dan para makhluk itu melaksanakan apa yang telah
diciptakan olehNya berupa kebaikan atau keburukan. Mereka tidak
mempunyai kekuasaan untuk mendapat manfaat dalam berbuat ketaatan.
Mereka juga tidak mampu untuk menolak hal-hal yang bisa memalingkan
mereka pada kemaksiatan.
PENJELASAN:
Pada bagian ini, al-Muzani menjelaskan
salah satu akidah berupa iman terhadap taqdir. Sebelum menjelaskan
tentang ucapan beliau ini, kita akan kaji beberapa hal mendasar tentang
iman terhadap taqdir.
Iman terhadap taqdir adalah salah satu
dari rukun iman yang berjumlah 6. Tidaklah seorang dikatakan beriman
jika tidak beriman pada taqdir.
عَنْ
ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ لَقِيتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ يَا
أَبَا الْمُنْذِرِ إِنَّهُ قَدْ وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنْ هَذَا
الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّهُ يَذْهَبُ مِنْ قَلْبِي قَالَ
لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ
لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ
رَحْمَتُهُ لَهُمْ خَيْرًا مِنْ أَعْمَالِهِمْ وَلَوْ أَنْفَقْتَ جَبَلَ
أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ
مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ
يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ وَلَوْ
مِتَّ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ لَدَخَلْتَ النَّارَ قَالَ فَأَتَيْتُ
حُذَيْفَةَ فَقَالَ لِي مِثْلَ ذَلِكَ وَأَتَيْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ
لِي مِثْلَ ذَلِكَ وَأَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ
Dari Ibnu ad-Dailamy beliau berkata:
Aku berjumpa dengan Ubay bin Ka’ab (Sahabat Nabi), aku berkata: Wahai
Abul Mundzir, sesungguhnya telah terbersit dalam jiwaku sesuatu dari
(masalah) taqdir. Sampaikanlah sesuatu kepadaku semoga hal itu bisa
menghilangkan (permasalahan) yang ada dalam hatiku. Beliau berkata:
Kalau seandainya Allah (berkehendak) mengadzab penduduk langit dan
penduduk bumi, Allah mengadzab mereka dalam keadaan Dia tidak
mendzhalimi mereka. Kalau seandainya Allah merahmati mereka, maka
sesungguhnya rahmat Allah lebih baik dibandingkan perbuatan mereka.
Kalau seandainya engkau berinfaq emas sebesar gunung Uhud di jalan
Allah, tidak akan Allah terima hingga engkau beriman dengan taqdir, dan
engkau mengetahui bahwasanya apa yang menimpamu tidak akan luput darimu,
dan apa yang luput darimu tidak akan menimpamu. Kalau engkau meninggal
tidak dengan (akidah) ini, niscaya engkau masuk neraka. Ibnu ad-Dailamy
kemudian berkata: Aku kemudian mendatangi Hudzaifah (Sahabat Nabi) ia
ternyata juga berkata seperti itu. Aku mendatangi Ibnu Mas’ud (Sahabat
Nabi), ia juga berkata seperti itu. Aku mendatangi Zaid bin Tsabit
(Sahabat Nabi), kemudian ia menyampaikan hadits dari Nabi seperti itu
(H.R Ahmad no 20607).
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits di atas adalah:
- Amal sholih seseorang tidak akan diterima Allah jika ia tidak beriman terhadap taqdir.
- Jika seseorang meninggal dengan akidah yang menyimpang tentang taqdir, ia masuk neraka.
- Jika Allah mengadzab seseorang, maka hal itu dengan keadilanNya. Allah tidak akan sedikitpun berbuat dzhalim. Balasan itu pasti sesuai perbuatan mereka. Allah tidak mengurangi perbuatan baik mereka sedikitpun atau menambahkan pada amalan mereka sesuatu yang tidak pernah mereka kerjakan.
- Jika Allah merahmati seseorang dengan memasukkannya ke dalam surga, maka hal itu adalah karena kelebihan kebaikan yang Allah berikan. Pemberian Allah itu melebihi/ tidak sebanding dengan amal perbuatan yang telah dikerjakan seseorang.
- Sesuatu yang tertulis dalam taqdir akan mengenai kita, tidak ada jalan lain pasti akan mengenai kita tidak mungkin terluput sedikitpun. Sebaliknya, sesuatu yang tertulis dalam taqdir bahwasanya hal itu akan terluput atau meleset dari kita, tidak akan pernah menimpa kita.
Menahan Diri dari Berbicara tentang Takdir
Pembicaraan tentang taqdir hanyalah
sekedar penyebutan atau pemahaman yang benar terhadap dalil-dalil dari
alQuran dan hadits yang shahih, tidak lebih dari itu. Tidak boleh kita
memperbincangkan taqdir melewati batas itu.
إِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوا
Jika disebutkan tentang taqdir, maka
tahanlah.. (H.R al-Harits bin Abi Usamah dalam musnadnya, dishahihkan
oleh Syaikh al-Albany).
Di antaranya adalah larangan menanyakan
atau memperbincangkan alasan mengapa suatu ditakdirkan demikian tidak
demikian. Mengapa fulan ditakdirkan begini, tapi fulan ditakdirkan
begitu.. Itu semua adalah terlarang, karena termasuk menanyakan tentang
Perbuatan Allah. Sedangkan Perbuatan Allah tidaklah boleh untuk
ditanyakan, karena pasti berkisar antara kelebihan kebaikan (fadhl) dan keadilan.
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang Dikerjakannya, sedangkan mereka (makhluk) akan ditanya (Q.S al-Anbiyaa’:23)
Empat Tahapan Iman terhadap Takdir
Para Ulama’ menjelaskan 4 tahapan
keimanan terhadap taqdir. Barangsiapa yang mengimani keempat tahapan
tersebut dengan benar, maka telah benarlah keimanannya terhadap taqdir.
Empat tahapan itu adalah:
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,
termasuk apa yang akan terjadi di alam semesta ini secara detail. Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya.
…إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
…Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S al-Anfaal:75).
al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan: al-Qodariyyah
(para pengingkar taqdir) yang disebut oleh Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam sebagai Majusi-nya umat ini adalah orang-orang yang
menyatakan bahwa Allah tidak mengetahui kemaksiatan sampai terjadinya
kemaksiatan (sebelum terjadi kemaksiatan, Allah belum tahu)(Manaaqib
asy-Syafi’i karya al-Baihaqy (1/413)).
Allah saja yang tahu tentang isi Lauhul Mahfudzh.
مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي
كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tidaklah ada suatu musibah yang
menimpa di bumi atau pada diri kalian kecuali telah (tertulis) dalam
kitab (Lauhul Mahfudzh) sebelum Kami menciptakanNya (Q.S al-Hadiid:22)
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah menulis taqdir-taqdir (seluruh makhluk) 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi (H.R Muslim no 4797)
Hal yang tertulis dalam Lauhul Mahfudzh berisi
secara detail segala sesuatu yang terjadi di dunia hingga hari kiamat,
tidak akan pernah berubah. Tidak ada penambahan atau pengurangan
sedikitpun.
إِنَّ
أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ
وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ
السَّاعَةُ
Sesungguhnya yang pertama kali Allah
ciptakan adalah pena (penulis taqdir). Kemudian Allah berfirman
kepadanya: Tulislah. Ia berkata: Tuhanku, apa yang aku tulis. Allah
berfirman: Tulislah taqdir-tqdir segala sesuatu sampai tegak hari kiamat
(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)
… وَاعْلَمْ أَنَّ
الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ
اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا
بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ
الصُّحُفُ
Ketahuilah, sekiranya semua umat
berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu
tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk
dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang
membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang
telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena (yang menuliskan taqdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (pada Lauhul Mahfudzh) telah kering(H.R atTirmidzi, Ahmad, dishahihkan Syaikh al-Albany).
terjadi di luar kehendak Allah, dan tidak ada satupun kehendak Allah yang tidak terlaksana.
…وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ…
…kalau seandainya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya…(Q.S al-An’aam:137)
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia (Q.S Yaasin:82)
Kehendak di sini yang dimaksud adalah irodah kauniyyah. Sedangkan iradah syar’iyyah bisa terjadi bisa tidak terjadi.
Makhluk memiliki juga kehendak, namun kehendaknya di bawah kehendak Allah. Dalilnya adalah:
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ (28) وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Bagi siapa di antara kalian yang
berkehendak untuk menempuh jalan yang lurus. Dan tidaklah mereka
berkehendak kecuali sesuai (di bawah) kehendak Allah Tuhan semesta alam
(Q.S atTakwiir:28)
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ…
Allah adalah Pencipta segala sesuatu…(Q.S az-Zumar:62)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Dan Allah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat (Q.S as-Shooffaat: 96).
Itulah 4 tahapan dalam keimanan terhadap
takdir. Jika seseorang mengingkari dua tahapan pertama tentang Ilmu
Allah dan penulisan takdir, maka ia adalah Qodariyyah yang sampai pada
taraf kafir karena ia tidak beriman terhadap Ilmu Allah. Sebagaimana
perkataan al-Imam asy-Syafi’i tentang Qodariyyah. Jika seseorang
mengingkari tahapan ke-3 atau ke-4 maka ia adalah Mu’tazilah yang menyimpang. Para Ulama’ tidak mengkafirkannya karena ia menyimpang akibat kesalahan takwil. Namun,
tetap saja pemahaman tersebut adalah batil. Ahlussunnah mengimani 4
tahapan takdir tersebut secara benar (disarikan dari penjelasan Syaikh
Abdul Aziz ar-Rajihi dalam menjelaskan Syarhus Sunnah lil Muzani)
…..Insya Allah Bersambungsumber: http://salafy.or.id/blog/2013/07/14/penjelasan-syarhus-sunnah-lil-muzani-bag-ke-4-a/