Ditulis Oleh Ustadz Kharisman
HAKIKAT KEIMANAN
Tidak Gegabah dalam Mengkafirkan Seseorang
Seorang muslim tidak boleh bermudah-mudahan dalam
mengkafirkan orang lain. Jangan sampai ia mengkafirkan seseorang yang
sebenarnya masih muslim. Jika dia vonis seseorang sebagai kafir, padahal orang
itu masih muslim, maka bisa jadi predikat kekafiran berbalik pada dirinya.
أَيُّمَا
امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ
كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa saja yang berkata kepada saudaranya
(muslim): Wahai kafir, maka akan kembali pada dua kemungkinan. Bisa jadi benar
seperti yang diucapkan, jika tidak (predikat kekafiran) akan kembali kepadanya
(orang yang mengucapkan)(H.R al-Bukhari dan Muslim no 92).
Hal yang perlu dipahami adalah: Tidak
semua orang yang melakukan perbuatan, mengucapkan ucapan, atau keyakinan
kekufuran sekaligus menjadi kafir. Bisa
saja ucapan atau perbuatannya adalah kekafiran, tapi belum tentu orangnya
kafir. Mungkin saja orang tersebut melakukan atau berbicara hal itu dalam
keadaan tidak tahu, tidak sengaja, terpaksa, lupa, atau terkena syubhat dan belum tegak hujjah padanya, sehingga
dia bukanlah seorang yang kafir.
Contohnya adalah seseorang yang memiliki keyakinan kufur,
namun karena ketidaktahuannya, Allah ampuni dia. Sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa ada seseorang yang berpesan
kepada anaknya agar kalau dia mati, bakarlah tubuhnya dan taburkan debunya
sebagian di daratan dan sebagian di lautan. Ia takut kepada Allah. Ia takut
akan adzab Allah dan beranggapan jika jasadnya terbakar dan debunya dipencar,
tidak akan membangkitkan ia lagi dan tidak mengadzabnya. Namun ternyata Allah
mengampuni dia. Walaupun ia tidak mengetahui sebagian dari Sifat Allah yaitu
Yang Maha Berkuasa, dan meski ia memiliki bagian dari keyakinan kufur bahwa ia
tidak akan dibangkitkan jika bagian tubuhnya terserak. Dia tidak terhitung
kafir karena kalau kafir Allah tidak akan mengampuni dia. Ketidaktahuannya dan
tidak tegaknya hujjah terhadap dia menyebabkan ia tidak dikafirkan.
Haditsnya adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لَمْ
يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ فَإِذَا مَاتَ فَحَرِّقُوهُ وَاذْرُوا نِصْفَهُ فِي
الْبَرِّ وَنِصْفَهُ فِي الْبَحْرِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ
لَيُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا لَا يُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ فَأَمَرَ
اللَّهُ الْبَحْرَ فَجَمَعَ مَا فِيهِ وَأَمَرَ الْبَرَّ فَجَمَعَ مَا فِيهِ ثُمَّ
قَالَ لِمَ فَعَلْتَ قَالَ مِنْ خَشْيَتِكَ وَأَنْتَ أَعْلَمُ فَغَفَرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata
bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Seseorang laki-laki yang
tidak pernah beramal kebaikan sebelumnya berkata: Jika aku mati, bakarlah
jasadku, dan taburkan debunya sebagian di daratan dan sebagian di lautan. Demi
Allah jika Allah mampu untuk mengembalikan jasadku lagi niscaya Dia akan
mengadzab aku dengan adzab yang (sangat pedih) tidak ada adzab seperti itu bagi
seorangpun (selainku). Kemudian
Allah perintahkan lautan untuk mengumpulkan (serpihan jasadnya) dan Allah
perintahkan daratan untuk mengumpulkan (serpihan jasadnya). Kemudian Allah
bertanya kepadanya: Mengapa engkau melakukan hal itu? Orang itu menjawab:
Karena takut kepadamu dan Engkau lebih tahu. Maka Allah mengampuninya (H.R al-Bukhari no 6952 dan Muslim no 4949)
Orang tersebut adalah orang yang beriman, karena itu ia
takut kepada Allah. Ia yakin dengan adzab Allah. Ia tahu Allah Maha Mengetahui.
Ia beriman kepada Allah dan hari akhir secara umum, namun ada sebagian sisi
keimanan yang tidak ia ketahui.
Demikian juga orang yang mengucapkan ucapan kekufuran
karena dipaksa, sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka ia tidaklah
kafir.
…إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ…
…kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya
tetap tenang dalam keimanan (maka ia tidak kafir)….(Q.S anNahl:106).
Demikian juga perbuatan kekufuran yang dilakukan karena
tidak sengaja atau lupa, tidak terhitung pelakunya sebagai orang kafir.
إِنَّ
اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku
ketidaksengajaan, lupa, dan hal-hal dilakukannya karena dipaksa (H.R Ibnu
Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albany).
Hal lain yang menghalangi seseorang dikafirkan adalah jika
ia melakukan atau mengucapkan karena ta’wil (penafsiran) yang keliru. Sebagai
contoh, Sahabat Nabi Qudaamah bin Mazh-‘un keliru dalam menafsirkan suatu ayat
al-Quran. Beliau menganggap bahwa ayat ke-93 dari surat al-Maaidah adalah
membolehkan khamr bagi orang yang beriman. Beliau tidak dikafirkan oleh Umar
bin al-Khottob dan para Sahabat yang lain karena kekeliruan penafsiran itu.
Hanya saja Umar membantah penyimpangan/ kesalahan penafsiran itu, menegakkan
hujjah padanya, kemudian setelah jelas kesalahannya, Umar menghukum beliau
karena meminum khamr. Kisah tersebut diriwayatkan dalam Sunan anNasaai dan
Mushonnaf Abdurrozzaq.
Seseorang yang memiliki akidah yang keliru, jika
kekeliruannya adalah karena menta’wilkan, maka ia tidak dikafirkan. Syaikh
Abdul Aziz arRojihi mencontohkan: Jika seseorang menolak bahwa Allah istiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy dengan tegas,
maka ia bisa dikafirkan. Karena Allah telah menyatakan bahwa Dia ber-istiwa’ di
atas ‘Arsy pada tidak kurang dari 7 ayat dalam al-Quran. Orang yang menolak itu
berarti ia menentang al-Quran. Berbeda dengan orang yang melakukan ta’wil.
Seandainya ia berkata: Maksudnya istiwa’ itu adalah istawla (menguasai). Maka orang ini meski
mengucapkan kebatilan, tapi ia tidak bisa dikafirkan. Karena ia tidak menolak
secara langsung tapi melakukan ta’wil (penafsiran) (disarikan dari penjelasan
Syaikh Abdul Aziz ar-Rojihi dalam Ta’liqoot ala Syarh Lum’atil I’tiqod (1/23)).
Di sinilah letak keadilan dan kasih sayang Ahlussunnah.
Kadangkala Ahlussunnah membantah ucapan-ucapan kebatilan untuk membela
kebenaran. Kemudian, orang-orang yang membela kebatilan itu tetap bersikukuh
dengan kesesatannya dan bahkan mengkafirkan seorang Ahlussunnah tersebut. Namun
si Ahlussunnah tadi tidak balik mengkafirkan orang tersebut karena ia tahu
bahwa orang tersebut menyimpang karena syubhat dan menta’wilkannya. Tidak serta
merta ia langsung mengkafirkan orang yang telah mengkafirkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Katsir)
menyatakan:
فلهذا
كان أهل العلم و السنة لا يكفرون من خالفهم و إن كان ذلك المخالف يكفرهم لأن الكفر
حكم شرعي فليس للإنسان أن يعاقب بمثله كمن كذب عليك وزنى بأهلك ليس لك أن تكذب
عليه و تزني بأهله لأن الكذب و الزنا حرام لحق الله تعالى و كذلك التكفير حق لله
فلا يكفر إلا من كفره الله و رسوله
Karena itu, para Ulama yang mengikuti sunnah
tidaklah mengkafirkan orang-orang yang menentangnya, meski penentang itu telah
mengkafirkan mereka. Yang demikian karena kekufuran adalah penetapan hukum
syar’i. Tidak boleh seseorang membalas dengan perlakuan yang sama (semata-mata
karena ia diperlakukan demikian, pent). Sebagaimana orang yang berdusta
kepadamu dan berzina dengan istrimu, tidak boleh engkau (membalas) berdusta
kepadanya dan berzina dengan istrinya. Karena kedustaan dan perbuatan zina
adalah haram berdasarkan hak Allah. Demikian juga pengkafiran adalah hak Allah,
tidak boleh mengkafirkan (seseorang) kecuali yang dikafirkan oleh Allah dan
RasulNya (arRaddu alal Bakariy (2/492))
Tidak Memastikan Surga dan Neraka Bagi
Seorang Muslim Tertentu
Al-Muzani menyatakan: Kita tidak memastikan surga bagi orang yang
berbuat baik di antara mereka (kaum muslimin), kecuali yang telah ditetapkan
kepastiannya oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Kita juga tidak
mempersaksikan kepastian neraka bagi orang yang berbuat keburukan di antara
mereka (kaum muslimin).
Kita tidak boleh memastikan seseorang masuk surga kecuali
jika telah dipastikan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallambahwa orang itu
masuk surga. Seperti pada para Sahabat Nabi yang disebutkan dalam hadits-hadits
yang shahih tentang 10 orang yang masuk surga, Nabi menyatakan: Abu Bakr di
surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Tholhah (bin Ubaidillah)
di surga, az-Zubair (bin al-‘Awwaam) di surga, Sa’ad bin Maalik di surga,
Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’iid bin Zaid di surga, Abu Ubaidah bin
al-Jarrah di surga (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dan
Ahmad).
Demikian juga sebagian Sahabat yang dipastikan masuk surga,
seperti Bilal bin Rabah yang dinyatakan oleh Nabi bahwa beliau mendengar suara
terompahnya di surga. Al-Hasan dan al-Husain (cucu beliau) yang disebut pemuka
para pemuda penduduk surga. Ukkasyah bin Mihshon yang dipastikan Nabi termasuk
70 ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab tanpa adzab.
Semua penyebutan terhadap personal tertentu dalam alQuran
dan hadits Nabi yang shahih bahwa ia masuk surga, kita tetapkan dan imani
kebenarannya. Demikian juga untuk orang-orang tertentu yang dipastikan masuk
neraka dalam al-Quran maupun hadits Nabi yang shahih, maka kita juga pastikan
demikian. Seperti Abu Lahab, yang dipastikan masuk neraka oleh Allah dalam
surat al-Lahab. Demikian juga dengan Fir’aun, Haman, dan semisalnya. Termasuk
juga seseorang yang sudah dipastikan meninggal dalam keadaan kafir, seperti
meninggal sebagai Nashrani, Yahudi, atau agama-agama lain selain Islam, atau
meninggal dalam keadaan murtad (keluar dari Islam), maka kita menyatakan bahwa
ia adalah kafir, setiap orang yang meninggal dalam kekafiran adalah di neraka,
kekal selama-lamanya.
وَمَنْ
يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي
الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa yang mencari agama selain Islam,
maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi
(Q.S Aali Imran:85)
…مَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah,
maka Allah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan
tidak ada penolong bagi orang-orang yang dzhalim (Q.S al-Maidah: 72)
Sedangkan kaum muslimin lain secara umum, secara personal
kita tidak boleh memastikan apakah mereka masuk surga atau neraka. Tidak boleh
kita menyatakan : Fulaan pasti
masuk surga, atau Fulaan pasti
masuk neraka.
Seorang muslim yang banyak berbuat ketaatan dan kebaikan,
kita hanya bisa menyatakan: Kami berharap ia masuk surga, semoga ia termasuk
penduduk surga. Sedangkan
seorang muslim yang banyak berbuat kejahatan dan dosa, kita hanya bisa
menyatakan: Kami
mengkhawatirkan dirinya masuk neraka. Dengan
keyakinan bahwa seorang muslim/ orang yang mentauhidkan Allah, bagaimanapun
keadaannya, ujung-ujungnya ia akan masuk surga.
Tidak diperbolehkan juga bagi kita untuk menyebut seorang
yang meninggal dunia dengan sebutan asy-Syahid (orang
yang mati syahid) atau penyebutan kepastian lainnya.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
…فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Janganlah kalian mentazkiyah (memastikan
kebaikan) terhadap diri kalian. Dialah yang Maha Mengetahui siapa yang paling
bertaqwa (Q.S anNajm:32).
Dalam ayat tersebut Allah melarang men-tazkiyah diri kita sendiri maupun saudara
kita yang lain sesama muslim. Tidak boleh kita menyatakan bahwa kita adalah
orang yang pasti masuk surga, demikian juga tidak boleh memastikan hal itu pada
personal tertentu yang tidak dipastikan dalam al-Quran dan al-hadits yang
shahih.
Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya dengan penamaan: Laa
yaquul fulaan syahiid (tidak
boleh menyatakan bahwa fulaan adalah syahid). Salah satu hadits yang
disampaikan pada bab itu adalah kisah dalam salah satu pertempuran di masa
Nabi. Seseorang yang berada di barisan kaum muslimin berperang dengan gagah
berani. Hingga hal itu menakjubkan para Sahabat yang lain. Tapi Nabi
menyatakan: Dia
adalah penghuni neraka. Salah
seorang Sahabat yang terkejut dengan ucapan Nabi itu akhirnya berusaha terus
mengikuti dan memperhatikan gerak-gerak orang tersebut. Ternyata, suatu ketika
saat ia sudah terluka sangat parah, ia tidak kuat menahan itu hingga bunuh diri
(H.R al-Bukhari no 2683 dan Muslim no 162). Hal itu menunjukkan bahwa kita
tidak bisa memastikan seorang muslim pasti segera masuk surga. Kita hanya bisa
berharap, semoga ia termasuk penghuni surga dan terjauhkan dari neraka.
Dalam suatu hadits yang lain dari Umar bin al-Khotthob
dinyatakan:
لَمَّا
كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا فُلَانٌ شَهِيدٌ فُلَانٌ شَهِيدٌ حَتَّى مَرُّوا
عَلَى رَجُلٍ فَقَالُوا فُلَانٌ شَهِيدٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَّا إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا
أَوْ عَبَاءَةٍ
Pada saat hari (perang) Khaibar, sekelompok
para Sahabat Nabi datang dan berkata: Fulan syahid, fulan syahid, hingga
melewati seseorang dan berkata: Fulan telah mati syahid. Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam bersabda: Sekali-kali tidak, sesungguhnya aku melihatnya di
neraka karena ada selendang yang dia ambil secara curang (ghulul)(H.R Muslim no
165).
Bentuk sebutan lain yang tidak diperbolehkan adalah sebutan
kepastian bahwa Allah telah mengampuninya (al-Maghfur
lahu) , Allah telah
merahmatinya (al-Marhuum) (Ithaafus
Saa-il bimaa fit Thohaawiyyah minal Masaa-il karya
Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh (33/13)). Kita hanya bisa mendoakan: semoga
dia dirahmati Allah dengan
sebutan Allah
yarham, atau rahmatullah
alaih, atau rahimahullah. Bisa juga dengan mendoakan ampunan
untuknya:Ghafarallah lahu (semoga Allah mengampuni dia).
Harus dibedakan antara persaksian atau kepastian dengan doa. Kalau persaksian
tidak boleh, sedangkan doa diperbolehkan.
Kita hanya boleh mempersaksikan dengan penyebutan kalimat
secara umum, bahwa orang yang beriman pasti masuk surga sedangkan orang kafir
pasti masuk neraka.
Sebagian Ulama’ (di antaranya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah) berpendapat bahwa jika mayoritas kaum muslimin mempersaksikan
kebaikan seseorang (karena ketokohannya dalam Dienul Islam), maka kita boleh
mempersaksikan bahwa ia adalah penduduk surga. Sebagaimana mayoritas kaum
muslimin mempersaksikan kebaikan Umar bin Abdil Aziz, Imam empat madzhab (Abu
Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad), al-Fudhail bin ‘Iyaadl, Abdullah bin
al-Mubarak, dan semisalnya, maka kita mempersaksikan surga untuk mereka.
Sebagaimana disebutkan dalam sebagian hadits, bahwa ada jenazah yang lewat di
depan Nabi kemudian beberapa orang memuji kebaikan untuknya, Nabi bersabda:
مَنْ
أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ أَثْنَيْتُمْ
عَلَيْهِ شَرًّا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ
أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي
الْأَرْضِ
Siapa yang (meninggal) kalian puji dengan
kebaikan, wajib baginya surga. Barangsiapa yang (meninggal) kalian puji dengan
keburukan, wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksi Allah di bumi, kalian
adalah para saksi Allah di bumi, kalian adalah para saksi Allah di bumi (H.R
alBukhari no 1278 dan Muslim no 1578)
Ucapan Nabi: Kalian adalah para saksi Allah di muka bumi tidak berlaku pada semua kaum
muslimin. Artinya, tidak semua kaum muslimin layak sebagai saksi.
Al-Imam as-Suyuthy berpendapat bahwa persaksian kebaikan
seseorang itu baru teranggap benar jika disampaikan oleh para Sahabat Nabi atau
orang yang seperti para Sahabat Nabi, yaitu orang yang terpercaya dan bertakwa.
Hal itu disebabkan kadang seseorang mempersaksikan keadaan orang lain tidak
secara obyektif, tapi hanya karena kedekatan hubungan, perasaan kasihan, dan
semisalnya.
Al-Imam as-Suyuthy menjelaskan makna hadits tersebut:
( أَنْتُمْ شُهَدَاء اللَّه فِي
الْأَرْض ) أَيْ الْمُخَاطَبُونَ بِذَلِكَ مِنْ الصَّحَابَة وَمَنْ كَانَ عَلَى
صِفَتهمْ مِنْ الْإِيمَان وَحَكَى اِبْن التِّين أَنَّ ذَلِكَ مَخْصُوص
بِالصَّحَابَةِ ؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يَنْطِقُونَ بِالْحِكْمَةِ بِخِلَافِ مَنْ
بَعْدهمْ قَالَ وَالصَّوَاب أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَصّ بِالثِّقَاتِ وَالْمُتَّقِينَ .
“Kalian adalah para saksi Allah di bumi”
maksudnya: yang diajak bicara
dalam hadits ini adalah para Sahabat Nabi dan orang-orang yang seperti mereka
dalam keimanan. Ibnut Tin menyatakan bahwa hal ini khusus untuk para Sahabat
karena merekalah yang berbicara dengan hikmah, berbeda dengan orang-orang
setelahnya. Namun yang benar
adalah bahwa hal itu khusus untuk orang-orang yang terpercaya dan bertakwa (Haasyiah as-Suyuthy was sindi ala
sunan annasaa-i no 1907)