Ditulis Oleh Ustadz Kharisman
ALQURAN ADALAH KALAM ALLAH BUKAN MAKHLUK
Al-Muzani rahimahullah menyatakan:
وَالْقُرْآنُ
كَلاَمُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمِنْ لَدُنْهُ وَلَيْسَ بِمَخْلُوْقٍ فَيَبِيْدُ
alQuran adalah Kalam (Ucapan) Allah Azza Wa
Jalla dan dari sisiNya, bukanlah makhluk sehingga
tidak akan binasa
PENJELASAN:
Dahulu, para Ulama’ Salaf mencukupkan ucapan dengan
menyatakan: AlQuran
adalah Kalam Allah. Namun,
setelah berkembang pemahaman sesat Jahmiyyah dan Mu’tazilah yang menentang
Sifat Allah, maka para Ulama’ perlu menegaskan dengan ucapan: AlQuran
adalah Kalam Allah bukan makhluk.
Hal ini dikarenakan mereka (Ahlul Bid’ah) menyatakan bahwa
Kalam Allah adalah makhluk. Mereka beralasan bahwa Kalam Allah sama dengan
penyebutan lain dalam al-Quran seperti Baitullah (rumah Allah) atau Naaqotullah
(unta Allah), menunjukkan bahwa semua itu adalah makhluk. Padahal sebenarnya
Kalam Allah adalah Sifat Allah. Allah Berbicara dengan Kalam itu. Semua Sifat
Allah bukanlah makhluk (sebagaimana juga dijelaskan oleh al-Muzani pada bagian
yang akan datang).
Hal yang menunjukkan bahwa Kalam atau Kalimat dari Allah
bukanlah makhluk adalah firman Allah:
أَلَا
لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Ingatlah bagi Allahlah penciptaan dan
perintah…(Q.S al-A’raaf:54)
Sufyan bin Uyainah (salah seorang guru al-Imam asy-Syafi’i)
berdalil dengan ayat ini untuk mambantah pemahaman bahwa alQuran adalah
makhluk. Ayat ini jelas membedakan antara penciptaan (makhluk) dengan perintah
Allah. Kalam atau Kalimat Allah dalam alQuran adalah perintahNya, maka ia
bukanlah makhluk.
Dalil lain yang menunjukkan bahwa Kalam/ Kalimat Allah
bukan makhluk, adalah bacaan yang diajarkan Nabi:
أَعُوذُ
بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Aku berlindung dengan Kalimat-kalimat Allah
yang sempurna dari keburukan para makhluk (H.R Muslim no 4881, Nabi menyatakan
bahwa barangsiapa yang singgah di suatu tempat dan membaca bacaan itu akan
terhindar dari marabahaya seluruh makhluk)
Dalam hadits itu menunjukkan bahwa kita berlindung dari
keburukan makhluk dari Kalimat Allah. Berarti, Kalimat Allah bukanlah makhluk.
Dia adalah salah satu dari Sifat Allah.
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa al-Quran adalah
Kalam Allah:
وَإِنْ
أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ
اللَّهِ…
Jika salah seorang dari kaum musyrikin
meminta perlindungan kepadamu, berilah perlindungan, hingga ia mendengar Kalam
Allah (al-Quran)(Q.S atTaubah:6)
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَعْرِضُ نَفْسَهُ عَلَى النَّاسِ فِي الْمَوْقِفِ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ
يَحْمِلُنِي إِلَى قَوْمِهِ فَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ مَنَعُونِي أَنْ أُبَلِّغَ
كَلَامَ رَبِّي
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma
beliau berkata: Dulu Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menawarkan diri
beliau pada kerumunan manusia di tempat-tempat keramaian, sambil menyatakan:
Siapakah seorang laki-laki yang akan membawaku pada kaumnya. Sesungguhnya
Quraisy telah menghalangi aku dari menyampaikan Kalam Tuhanku (al-Quran)(H.R
Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dishahihkan oleh al-Hakim dan
disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby dan al-Albany).
Masa-masa kehidupan al-Muzani diwarnai dengan kepemimpinan
beberapa Khalifah Abbasiyyah yang terpengaruh dengan pemahaman Mu’tazilah, seperti al-Ma’mun, al-Mu’tashim,
dan al-Waatsiq.
Sepeninggal al-Imam asy-Syafii, yang mengganti mengajar
murid-murid beliau adalah al-Buwaithy (Yusuf bin Yahya, Abu Ya’qub).
Al-Buwaithy ini yang ditangkap oleh pasukan pemerintah waktu itu karena tidak
mau mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Beliau ditangkap di Mesir dan
dibawa ke Baghdad untuk dipenjara, dan meninggal di sana dalam keadaan kakinya
dirantai.
Semasa di penjara, setiap kali mendengar adzan panggilan
sholat Jumat, al-Buwaithy selalu mandi, berpakaian terbaik dan mempersiapkan
diri (untuk menghadiri sholat Jumat), kemudian beliau berjalan hingga pintu
penjara. Penjaga penjara akan bertanya kepadanya: Mau
ke mana engkau? Al-Buwaithy
menjawab: Aku
akan menghadiri panggilan Tuhanku (sholat Jumat). Penjaga penjara akan mengatakan
kepadanya: Kembalilah
(ke tempatmu), semoga Allah memaafkanmu. Al-Buwaithy
kemudian berdoa: Ya Allah, sungguh Engkau telah tahu aku berusaha
untuk memenuhi seruanMu, tapi mereka mencegah aku (Thobaqootul Fuqohaa’ karya Ibnu Mandzhur (1/98)).
Sepeninggal al-Buwaithy, yang menggantikan tugas mengajar
murid-murid asy-Syafi’i di Mesir adalah al-Muzani. Berkaca dari pengalaman
al-Buwaithy, al-Muzani tidak banyak berbicara tentang masalah al-Quran bukanlah
makhluk. Hingga sebagian orang menganggap al-Muzani memiliki akidah yang
menyimpang tentang hal itu. Sampai akhirnya al-Muzani menjelaskan dalam risalah ini akidah yang diyakininya, bahwa
al-Quran adalah Kalam Allah, bukan makhluk.
Sesuatu yang dibaca oleh para pembaca al-Quran, yang
ditulis pada papan tulis dan buku tulis ketika mengajarkan al-Quran, yang
dihafal oleh para penghafal al-Quran, itu semua adalah Kalam Allah. Namun,
harus dibedakan antara isi dengan medianya. Isinya adalah Kalam Allah, namun
medianya adalah makhluk. Lembaran kertas mushaf itu adalah makhluk. Tinta yang
tercetak padanya adalah makhluk. Suara seseorang yang melantunkan al-Quran
adalah makhluk.
Karena itu ada ungkapan dari para Ulama’ Ahlussunnah:
الصَّوْتُ
صَوْتُ الْقَارِي وَالْكَلاَمُ كَلاَمُ الْبَارِي
Suaranya adalah suara sang pembaca, sedangkan
Kalamnya adalah Kalam al-Baari (Tuhan)(Ma’arijul Qobul karya Syaikh Hafidz bin Ahmad Hakamy (1/293))
Ahlussunnah menyakini bahwa Allah berfirman/ berbicara
secara hakiki lafadz-lafadz al-Quran tersebut dengan suara yang didengar
Jibril, kemudian Jibril menyampaikan kepada Nabi Muhammad shollallahu
alaihi wasallam. Disebut
dengan kalimat ‘diturunkan’ karena
memang Kalam itu disampaikan Allah yang berada di puncak ketinggian, kemudian
didengar Jibril (salah satu Malaikat penduduk langit), sehingga Jibril turun ke
bumi dan menyampaikan kepada Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Katsir) rahimahullah menukilkan pendapat dari seorang
Ulama Syafiiyyah:
وَقَالَ
الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الكرجي
الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الَّذِي سَمَّاهُ ” الْفُصُولُ فِي الْأُصُولِ ”
سَمِعْت الْإِمَامَ أَبَا مَنْصُورٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَحْمَد يَقُولُ : سَمِعْت
الْإِمَامَ أَبَا بَكْرٍ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَحْمَد يَقُولُ : سَمِعْت الشَّيْخَ
أَبَا حَامِدٍ الإسفراييني يَقُولُ : مَذْهَبِي وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ
وَفُقَهَاءِ الْأَمْصَارِ أَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ .
وَمَنْ قَالَ إنَّهُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ وَالْقُرْآنُ حَمَلَهُ جِبْرِيلُ
عَلَيْهِ السَّلَامُ مَسْمُوعًا مِنْ اللَّهِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَهُ مِنْ جِبْرِيلَ وَالصَّحَابَةُ سَمِعُوهُ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ …
Syaikh al-Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil
Malik al-Karjiy asy-Syafi’i menyatakan dalam Kitabnya yang diberi nama
‘al-Fushuul fil Ushuul’ : saya mendengar Imam Abu Manshur Muhammad bin Ahmad
berkata: Saya mendengar Imam Abu Bakr Abdullah bin Ahmad berkata: Saya
mendengar Syaikh Abu Hamid al-Isrooyiini berkata: Madzhabku dan madzhab asy-Syafi’i dan (madzhab) para Fuqahaa’ di
berbagai penjuru bahwasanya al-Quran adalah Kalam Allah bukan makhluk.
Barangsiapa yang berkata bahwasanya ia (al-Quran) adalah makhluk, maka ia
kafir. Al-Quran didengar oleh
Jibril dari Allah dan Nabi
shollallahu alaihi wasallam mendengarnya dari Jibril, dan para Sahabat
mendengarnya dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (Majmu’ Fataawa Ibn
Taimiyyah (12/160-161)
Al-Quran adalah salah satu dari sekian banyak Kalam Allah.
AlQuran bukanlah satu-satunya Kalam Allah. Bahkan Taurat, Injil, Zabur yang
diturunkan kepada para Nabi sebelumnya juga berisi Kalam Allah.
Kalam atau Kalimat Allah jumlahnya tak terhitung, sangat
banyak. Allah berbicara kapan saja sesuai dengan yang dikehendakiNya dengan
pembicaraan apa saja yang dikehendakiNya.
وَلَوْ
أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ
بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi
pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah
(kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) Kalimat Allah Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S
Luqman:27)
Dalil yang menunjukkan bahwa Allah berfirman/ berbicara
langsung kepada Malaikat Jibril dengan pembicaraan yang hakiki, adalah hadits:
إِنَّ
اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا
فَأَحِبَّهُ قَالَ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ قَالَ
ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا
جِبْرِيلَ فَيَقُولُ إِنِّي أُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضْهُ قَالَ فَيُبْغِضُهُ
جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلَانًا
فَأَبْغِضُوهُ قَالَ فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي
الْأَرْضِ
Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang
hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman: Sesungguhnya Aku mencintai
fulaan, maka cintailah dia. Maka Jibrilpun mencintai dia kemudian berseru di
langit dan berkata: Sesungguhnya Allah mencintai Fulaan, maka cintailah dia.
Maka para penduduk langitpun mencintainya. Kemudian diletakkanlah penerimaan di
muka bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba Allah akan memanggil Jibril
dan berkata: Sesungguhnya Aku membenci Fulaan, maka bencilah dia. Maka
Jibrilpun membencinya. Kemudian Jibril berseru pada penduduk langit (Malaikat):
Sesungguhnya Allah membenci Fulaan, maka bencilah dia. Kemudian diletakkanlah
kebencian (untuknya) di muka bumi (H.R alBukhari dan Muslim, sedangkan
lafadznya berdasarkan riwayat Muslim no 4772).
Sifat Berbicara (Kalam) adalah Sifat Kesempurnaan.
Ketidakmampuan berbicara adalah kekurangan.
Allah cela sebagian orang musyrikin dengan menunjukkan
kekurangan-kekurangan pada sesembahannya. Salah satu kekurangan itu karena
mereka tidak bisa berbicara. Allah menyatakan tentang sesembahan patung kaum
Nabi Musa:
وَاتَّخَذَ
قَوْمُ مُوسَى مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ
أَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ لَا يُكَلِّمُهُمْ وَلَا يَهْدِيهِمْ سَبِيلًا اتَّخَذُوهُ
وَكَانُوا ظَالِمِينَ
Dan kaum Musa, setelah (kepergian Musa) membuat dari perhiasan-perhiasan
(emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa
anak lembu itu tidak dapat
berbicara dengan merekadan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka?
Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang dzhalim (Q.S al-A’raaf:148)
أَفَلَا
يَرَوْنَ أَلَّا يَرْجِعُ إِلَيْهِمْ قَوْلًا وَلَا يَمْلِكُ لَهُمْ ضَرًّا وَلَا
نَفْعًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa
patung anak lembu itu tidak dapat
memberi jawaban kepada mereka(tidak bisa berbicara), dan tidak dapat memberi
kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan? (Q.S Thoha: 89).
Nabi Ibrahim juga mendebat kaumnya dan mengajak mereka
berpikir, mengapa mereka mau menyembah patung yang penuh dengan kekurangan.
Salah satunya tidak bisa berbicara. Silakan tanya pada patung kalian jika
memang ia berbicara:
قَالُوا
أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآَلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (62) قَالَ بَلْ فَعَلَهُ
كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ (63)
Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan
perbuatan ini terhadap sesembahan-sesembahan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab:
“Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu,
jika mereka dapat berbicara“(Q.S al-Anbiyaa’:62-62).