Firman Allah Subhanahu wata'ala: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. At Taubah: 100)

Jumat, 31 Oktober 2014

Silsilah: Agamaku Mengajarkanku … (Seri 1 -3)

Silsilah1SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 1-3) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy
Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
Bagian ke 1:
Bahwa anak termasuk dari usaha kedua orangtuanya, sehingga betapa pun anak beramal amalan sholeh maka pahalanya akan sampai kepada kedua orangtuanya, dan betapa pun anak berbuat amalan kejelekan maka dosanya tidak akan sampai kepada kedua orangtuanya akan tetapi hanya akan mengenai dirinya sendiri.
Alloh Ta’ala berfirman:
(وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ) [سورة النجم : 39]
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. ” (Qs. An-Najm: 39)
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
(قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ) [سورة هود : 46]
“Alloh berfirman: Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan. ” (Qs.  Huud: 46)
Dan Alloh berfirman:
(وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۗ إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ ۚ وَمَنْ تَزَكَّىٰ فَإِنَّمَا يَتَزَكَّىٰ لِنَفْسِهِ ۚ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ) [سورة فاطر : 18]
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Robbnya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Alloh-lah kembali (mu). “Qs. Faathir: 18)
Bagian ke 2:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa keadaan setiap manusia di dunia dalam keadaan suka mengeluh, dan kebahagiaannya ialah bersama Alloh, untuk Alloh dan karena Alloh.
Bagian ke 3:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa membangun ummat bergantung pada pembangunan personal, maka hendaklah setiap orang memulai dari dirinya sendiri kemudian yang di bawahnya dan di bawahnya, dan apabila personalnya telah baik maka baik pula keluarganya, dan apabila suatu keluarga telah baik maka baik pula masyarakatnya, dan apabila masyarakatnya telah baik maka baik pula negerinya, dan apabila negerinya telah baik maka baik pula ummatnya, dan apabila ummat telah menjadi baik maka baik pula dunianya, karena Alloh tidak akan merubah suatu kaum hingga kaum tersebut mau merubah diri mereka sendiri.

Kamis, 30 Oktober 2014

Hal-hal Yang Memalingkan Dari Kebenaran – Bagian 7

Hal-hal Yang Memalingkan Dari Kebenaran-taqlidAsy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
Ketujuh ~ Taqlid
Orang yang taqlid (membebek) dinamakan oleh para Salaf sebagai imma’ah (ikut apa kata orang –pent), dan orang yang taqlid selalu mengikuti pendapat seorang ulama secara mutlak pada semua masalah. Semacam ini tidak diragukan lagi berarti dia telah memberi makna ma’shum kepada ulama tersebut tanpa dia sadari. Jadi tidak ada seorang pun yang ucapannya benar secara mutlak kecuali Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, karena kebenaran memang selalu menyertai beliau di mana pun beliau berada.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jadi pahala didapatkan dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu alaihi was sallam, pertolongan akan didapatkan bagi yang mau menolong beliau, kebahagiaan akan didapatkan oleh siapa saja yang mengikuti beliau, shalawat dari Allah dan malaikat-Nya akan tercurah kepada orang-orang yang mengimani beliau dan mengajarkan agama-Nya kepada manusia, dan kebenaran itu selalu menyertai beliau di mana pun beliau berada.”[1]
Jadi wajib atas seorang hamba yang telah terkena beban syari’at untuk mengikuti kebenaran ke manapun, bukan mengikuti gurunya ke manapun. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi akan mendorong orangnya untuk berusaha mencari kebenaran dan menelitinya. Berbeda dengan orang yang suka taqlid yang tidak menggunakan nalarnya, dungu pikirannya, dan akalnya tertutupi.
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata:
الْمُقَلِّدُ رَاضٍ أَنْ يُغْبَنَ عَقْلُهُ.
“Orang yang sukanya taqlid dia ridha akalnya ditutupi atau ditipu.” [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فَإِنَّ التَّقْلِيْدَ لَا يُوْرِثُ إِلَّا بَلَادَةً.
“Sikap taqlid tidak akan mewariskan kecuali kedunguan.” [3]
Apa yang beliau katakan ini memang benar tanpa ada keraguan padanya, karena maksimal yang mampu dilakukan oleh orang yang suka taqlid adalah menyandarkan sebuah pendapat kepada seorang ulama, lalu dia mengambil pendapat tersebut dalam keadaan tidak mengetahui apa dalilnya, apakah ulama tersebut memiliki dalil yang shahih, apakah dalil tersebut tepat digunakan untuk pendalilan? Dan dia tidak mengetahui hakekat pendapat yang menyelisihi ulama tersebut dan juga tidak mengetahui di mana saja letak perselisihannya, apa lagi untuk menyaringnya. Jadi cara semacam ini hanya akan memariskan kedunguan dan kekakuan berfikir bagi orangnya.
Al-Allamah As-Sa’dy rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang yang terbiasa hanya mengikuti pendapat-pendapat yang ada, dia tidak akan peduli apakah pendapat-pendapat tersebut dibangun di atas dalil yang shahih atau dalil yang lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali, hal itu karena dia tidak menggunakan pikirannya, tidak terdorong untuk bangkit mencari sesuatu yang tinggi, dan tidak pula berusaha menambah kekuatan berfikir dan menalar.” [4]
Jadi taqlid termasuk hal-hal yang terbesar yang memalingkan dari kebenaran, karena pelakunya hanya mengikuti pendapat seorang ulama dan membelanya secara mutlak.
Al-Wazir Ibnu Hubairah rahimahullah berkata:
مِنْ مَكَايِدِ الشَّيْطَانِ أَنْ يُقِيْمَ أَوْثَانًا فِيْ الْمَعْنَى تُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ مِثْلَ أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ الْحَقُّ، فَيَقُوْلُ: هَذَا لَيْسَ بِمَذْهَبِنَا تَقْلِيْدًا لِمُعَظَّمٍ عِنْدَهُ قَدْ قَدَّمَهُ عَلَى الْحَقِّ.
“Diantara makar syaithan adalah dengan mendirikan berhala-berhala maknawi yang disembah selain Allah, seperti seseorang yang kebenaran telah jelas baginya namun dia tolak dengan dalih ‘Ini bukan madzhab kami’ hal itu dia katakan semata-mata karena mengikuti tokoh yang dia agungkan yang lebih dia utamakan dibandingkan kebenaran.” [5]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وَلَيْسَ عِنْدَ أَكْثَرِ النَّاسِ سِوَى رُسُوْمٌ تَلَقَّوْهَا عَنْ قَوْمٍ مُعَظَّمِيْنَ عِنْدَهُمْ، ثُمَّ لِإِحْسَانِ ظَنِّهِمْ بِهِمْ قَدْ وَقَفُوْا عِنْدَ أَقْوَالِهِمْ وَلَمْ يَتَجَاوَزُوْهَا إِلَى غَيْرِهَا فَصَارَتْ حِجَاباً لَهُمْ وَأَيُّ حِجَابٍ.
“Mayoritas manusia tidak memiliki pegangan selain perkataan-perkataan yang mereka ambil dari orang-orang yang mereka anggap mulia, kemudian karena baik sangka terhadap mereka menjadikan mereka berhenti pada pendapat-pendapat mereka saja dan tidak mau melewatinya untuk memperhatikan pendapat lain, sehingga pendapat mereka menjadi tirai yang menutupi dari kebenaran dengan sekuat-kuatnya.” [6]
Padahal tidak seorang ulama pun yang semuan pendapatnya benar, bahkan semuanya bisa diambil pendapatnya dan bisa juga ditolak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
لَيْسَ مِنْ شَرْطِ الصِّدَّيْقِ أَنْ يَكُوْنَ قُوْلُهُ كُلُّهُ صَحِيْحًا، وَعَمَلُهُ كُلُّهُ سُنَّةً، إِذْ كَانَ يَكُوْنُ بِمَنْزِلَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Bukan termasuk syarat seorang yang mencapai derajat shiddiq perkataannya harus benar semua dan perbuatannya menjadi sunnah semua, jika hal itu terjadi maka akan menjadi seperti kedudukan Nabi shallallahu alaihi was sallam.” [7]
Maka jika tidak mungkin kebenaran terdapat pada perkataan seorang ulama saja secara mutlak, engkau akan mengetahui betapa buruk akibat dari sikap taqlid yang akan menyeret untuk meninggalkan kebenaran.
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata: “Yang wajib atas siapa saja yang sampai kepadanya perintah Rasul shallallahu alaihi was sallam dan dia mengetahuinya dengan baik untuk menjelaskannya kepada umat dan menasehati mereka, serta memerintahkan mereka agar mengikuti perintah beliau walaupun hal itu bertentangan dengan pendapat salah seorang yang mulia di umat ini, karena sesungguhnya perintah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti dibandingkan pendapat seseorang yang dimuliakan yang terkadang dia menyelisihi perintah beliau pada sebagian perkara tanpa kesengajaan.” [8]
Al-Allamah Abdul Qadir bin Badran Ad-Dimasyqy rahimahullah berkata:
التَّقْلِيْدُ يُبْعِدُ عَنْ الْحَقِّ وَيُرَوِّجُ الْبَاطِلَ.
“Taqlid akan akan menjauhkan dari kebenaran dan akan menyuburkan kebathilan.” [9]
Sebagian orang jika engkau berbicara dengannya dan engkau tunjukkan pendapat yang menyelisihi pendapatnya serta engkau ingatkan sisi kesalahan hukum masalah yang dia yakini, dia segera membantahmu dengan dalih: “Apakah engkau merasa lebih berilmu dibandingkan dengan imam fulan?!”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jika dikatakan kepada orang yang mencari petunjuk dan bimbingan ini, ‘Apakah engkau merasa lebih berilmu dibandingkan dengan imam fulan?!’ Maka ucapan semacam ini adalah sanggahan yang rusak, karena imam fulan tersebut dalam masalah ini telah diselisihi oleh ulama lain yang selevel dengannya, bahkan yang menyelisihinya hingga yang selevel dengan Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Mu’adz, dan selain mereka. Jadi sebagaimana para Shahabat sebagian mereka selevel bagi sebagian yang lain pada perkara-perkara yang diperselisihkan, dan mereka saja jika berselisih pada sebuah perkara mereka mengembalikan apa yang mereka perselisihkan tersebut kepada Allah dan Rasul, padahal bisa jadi sebagian mereka lebih berilmu pada perkara-perkara yang lain, maka seharusnya demikian pula cara menyikapi perkara-perkara yang diperselisihkan oleh para imam.” [10]
Al-Allamah Al-Mu’allimy rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwasanya Allah Ta’ala terkadang menjatuhkan sebagian orang-orang yang ikhlash pada sebuah kesalahan sebagai ujian bagi yang lain; yaitu apakah mereka akan mengikuti kebenaran dan meninggalkan pendapat orang yang salah tersebut, ataukah justru mereka tertipu dengan keutamaan dan kemuliaannya?
Adapun ulama yang salah tersebut mendapatkan udzur, bahkan dia mendapatkan pahala karena ijtihadnya dan tujuannya yang baik serta tidak meremehkan usaha. Tetapi orang yang mengikuti semata-mata karena tertipu dengan nama besarnya tanpa mau memperhatikan hujjah-hujjah yang sesungguhnya yang berasal dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi was sallam, maka dia tidak mendapatkan udzur, bahkan dia berada dalam bahaya yang besar.
Ketika Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu anha pergi ke Bashrah sebelum pecahnya Perang Jamal, Amirul Mu’minin Ali radhiyallahu anhu menyusulkan putra beliau Al-Hasan dan Ammar bin Yasir radhiyallahu anhuma untuk menasehati manusia. Diantara perkataan Ammar kepada penduduk Bashrah adalah:
وَاللهِ إِنَّهَا لَزَوْجَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَلَكِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ابْتَلاَكُمْ، لِيَعْلَمَ إِيَّاهُ تُطِيْعُوْنَ أَمْ هِيَ.
“Demi Allah, sesungguhnya dia adalah istri dari Nabi kalian shallallahu alaihi was sallam di dunia dan akhirat, tetapi Allah Tabaaraka wa Ta’aala menguji kalian untuk mengetahui apakah kalian lebih mentaati beliau ataukah mentaatinya.” (HR. Al-Bukhary no. 7110 –pent)
Termasuk contoh terbesar yang juga semakna dengan ini adalah tuntutan Fathimah radhiyallahu anha agar mendapat warisan dari ayahnya shallallahu alaihi was sallam. Dan ini merupakan ujian besar bagi Ash-Shiddiq (Abu Bakr) radhiyallahu anhu. Namun Allah mengokohkannya menghadapi ujian ini.”[11]
Namun hal ini bukan berarti seorang penuntut ilmu hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam memahami nash-nash sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, dan hal itu menyebabkan mereka terjatuh pada pendapat-pendapat yang nyeleneh dan madzhab-madzhab yang dibuang, sebagaimana telah diketahui.
Bahkan yang wajib atas penuntut ilmu untuk meminta bantuan para ulama dalam memahami nash-nash. Jadi di sana ada perbedaan antara taqlid kepada seorang ulama dengan meminta bantuan kepadanya dalam memahami.
Al-Allamah Al-Amir Ash-Shan’any rahimahullah berkata:
وَفَرْقٌ بَيْنَ تَقْلِيْدِ الْعَالِمِ فِيْ جَمِيْعِ مَا قَالَهُ وَبَيْنَ الْإِسْتِعَانَةِ بِفَهْمِهِ فَإِنَّ الْأَوَّلَ أَخَذَ بِقَوْلِهِ مِنْ غَيْرِ نَظَرٍ فِيْ دَلِيْلٍ مِنْ كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ. وَالْإِسْتِعَانَةِ بِفَهْمِهِ وَهُوَ الثَّانِي بِمَنْزِلَةِ الدَّلِيْلِ فِيْ الطَّرِيْقِ وَالْخِرِّيْتِ الْمَاهِرِ لِابْنِ السَّبِيْلِ فَهُوَ دَلِيْلٌ إِلَى دَلِيْلٍ.
“Dan perbedaan antara taqlid kepada seorang ulama pada semua yang dia katakan dengan meminta bantuan dengan pemahamannya adalah: orang yang pertama mengambil pendapat ulama tersebut tanpa memperhatikan kepada dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah sama sekali. Sedangkan meminta bantuan dengan pemahaman ulama yaitu yang kedua, ulama tersebut posisinya seperti seorang penunjuk jalan dan yang paham dengan baik sebuah daerah yang dia menunjukkan jalan bagi musafir, jadi seorang ulama adalah penunjuk kepada sesuatu yang telah ada penunjuknya.” [12]
Hal ini kami sebutkan karena sebagian orang ada yang melampaui batas dan keterlaluan dalam menentang taqlid sampai-sampai menyendiri dari para ulama dan tidak mau mengambil faedah dari ilmu mereka, serta membuang sarana yang termasuk paling besar dalam memahami agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فَأَئِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ وَسَائِلُ وَطُرُقٌ وَأَدِلَّةٌ بَيْنَ النَّاسِ وَبَيْنَ الرَّسُوْلِ يُبَلِّغُوْنَهُمْ مَا قَالَهُ وَيُفَهِّمُوْنَهُمْ مُرَادَهُ بِحَسَبِ اجْتِهَادِهِمْ وَاسْتِطَاعَتِهِمْ.
“Jadi para imam kaum Muslimin yang mereka ikuti adalah sarana, jalan, dan penunjuk yang menghubungkan antara manusia dengan Rasul. Para ulama menyampaikan kepada manusia apa yang beliau katakan dan memahamkan maksudnya sesuai ijtihad dan kemampuan mereka.” [13]
Bersambung In Syaa Allah
Catatan kaki:
[1] Minhaajus Sunnah, V/233.
[2] Mudaawaatun Nufuus hal. 74.
[3] Minhaajus Sunnah, V/281.
[4] Al-Munaazharaat Al-Fiqhiyyah hal. 37
[5] Lawaami’ul Anwaar, II/465.
[6] Thariiqatul Hijratain, hal. 215, cetakan Al-Maktabah As-Salafiyyah, tahqiq Muhiuddin Al-Khathib.
[7] Iqtidhaa’ush Shiraathil Mustaqiim, II/106.
[8] Al-Hikamul Jadiirah bil Idzaa’ah, hal. 34.
[9] Al-Madkhal Ilaa Madzhabil Imaam Ahmad hal. 495.
[10] Al-Fataawaa Al-Kubraa, V/126.
[11] Raf’ul Isytibaah ‘An Ma’nal Ibaadah wal Ilah, hal 152-153.
[12] Irsyaadun Nuqqaad Ilaa Taisiiril Ijtihaad, hal 105.
[13] Majmuu’ul Fataawaa, XX/224.

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=7749

Rabu, 29 Oktober 2014

PENJELASAN SYARHUSSUNNAH LIL MUZANI (BAG 9)

Ditulis Oleh Ustadz Kharisman
ALQURAN ADALAH KALAM ALLAH BUKAN MAKHLUK

Al-Muzani rahimahullah menyatakan:
وَالْقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمِنْ لَدُنْهُ وَلَيْسَ بِمَخْلُوْقٍ فَيَبِيْدُ
alQuran adalah Kalam (Ucapan) Allah Azza Wa Jalla dan dari sisiNya, bukanlah makhluk sehingga tidak akan binasa
PENJELASAN:

Dahulu, para Ulama’ Salaf mencukupkan ucapan dengan menyatakan: AlQuran adalah Kalam Allah. Namun, setelah berkembang pemahaman sesat Jahmiyyah dan Mu’tazilah yang menentang Sifat Allah, maka para Ulama’ perlu menegaskan dengan ucapan: AlQuran adalah Kalam Allah bukan makhluk.

Hal ini dikarenakan mereka (Ahlul Bid’ah) menyatakan bahwa Kalam Allah adalah makhluk. Mereka beralasan bahwa Kalam Allah sama dengan penyebutan lain dalam al-Quran seperti Baitullah (rumah Allah) atau Naaqotullah (unta Allah), menunjukkan bahwa semua itu adalah makhluk. Padahal sebenarnya Kalam Allah adalah Sifat Allah. Allah Berbicara dengan Kalam itu. Semua Sifat Allah bukanlah makhluk (sebagaimana juga dijelaskan oleh al-Muzani pada bagian yang akan datang).
Hal yang menunjukkan bahwa Kalam atau Kalimat dari Allah bukanlah makhluk adalah firman Allah:
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Ingatlah bagi Allahlah penciptaan dan perintah…(Q.S al-A’raaf:54)
Sufyan bin Uyainah (salah seorang guru al-Imam asy-Syafi’i) berdalil dengan ayat ini untuk mambantah pemahaman bahwa alQuran adalah makhluk. Ayat ini jelas membedakan antara penciptaan (makhluk) dengan perintah Allah. Kalam atau Kalimat Allah dalam alQuran adalah perintahNya, maka ia bukanlah makhluk.
Dalil lain yang menunjukkan bahwa Kalam/ Kalimat Allah bukan makhluk, adalah bacaan yang diajarkan Nabi:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Aku berlindung dengan Kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari keburukan para makhluk (H.R Muslim no 4881, Nabi menyatakan bahwa barangsiapa yang singgah di suatu tempat dan membaca bacaan itu akan terhindar dari marabahaya seluruh makhluk)
Dalam hadits itu menunjukkan bahwa kita berlindung dari keburukan makhluk dari Kalimat Allah. Berarti, Kalimat Allah bukanlah makhluk. Dia adalah salah satu dari Sifat Allah.
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa al-Quran adalah Kalam Allah:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ…
Jika salah seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, berilah perlindungan, hingga ia mendengar Kalam Allah (al-Quran)(Q.S atTaubah:6)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُ نَفْسَهُ عَلَى النَّاسِ فِي الْمَوْقِفِ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَحْمِلُنِي إِلَى قَوْمِهِ فَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ مَنَعُونِي أَنْ أُبَلِّغَ كَلَامَ رَبِّي
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma beliau berkata: Dulu Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menawarkan diri beliau pada kerumunan manusia di tempat-tempat keramaian, sambil menyatakan: Siapakah seorang laki-laki yang akan membawaku pada kaumnya. Sesungguhnya Quraisy telah menghalangi aku dari menyampaikan Kalam Tuhanku (al-Quran)(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby dan al-Albany).
Masa-masa kehidupan al-Muzani diwarnai dengan kepemimpinan beberapa Khalifah Abbasiyyah yang terpengaruh dengan pemahaman Mu’tazilah, seperti al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Waatsiq.
Sepeninggal al-Imam asy-Syafii, yang mengganti mengajar murid-murid beliau adalah al-Buwaithy (Yusuf bin Yahya, Abu Ya’qub). Al-Buwaithy ini yang ditangkap oleh pasukan pemerintah waktu itu karena tidak mau mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Beliau ditangkap di Mesir dan dibawa ke Baghdad untuk dipenjara, dan meninggal di sana dalam keadaan kakinya dirantai.
Semasa di penjara, setiap kali mendengar adzan panggilan sholat Jumat, al-Buwaithy selalu mandi, berpakaian terbaik dan mempersiapkan diri (untuk menghadiri sholat Jumat), kemudian beliau berjalan hingga pintu penjara. Penjaga penjara akan bertanya kepadanya: Mau ke mana engkau? Al-Buwaithy menjawab: Aku akan menghadiri panggilan Tuhanku (sholat Jumat). Penjaga penjara akan mengatakan kepadanya: Kembalilah (ke tempatmu), semoga Allah memaafkanmu. Al-Buwaithy kemudian berdoa: Ya Allah, sungguh Engkau telah tahu aku berusaha untuk memenuhi seruanMu, tapi mereka mencegah aku (Thobaqootul Fuqohaa’ karya Ibnu Mandzhur (1/98)).
Sepeninggal al-Buwaithy, yang menggantikan tugas mengajar murid-murid asy-Syafi’i di Mesir adalah al-Muzani. Berkaca dari pengalaman al-Buwaithy, al-Muzani tidak banyak berbicara tentang masalah al-Quran bukanlah makhluk. Hingga sebagian orang menganggap al-Muzani memiliki akidah yang menyimpang tentang hal itu. Sampai akhirnya al-Muzani menjelaskan dalam risalah ini akidah yang diyakininya, bahwa al-Quran adalah Kalam Allah, bukan makhluk.
Sesuatu yang dibaca oleh para pembaca al-Quran, yang ditulis pada papan tulis dan buku tulis ketika mengajarkan al-Quran, yang dihafal oleh para penghafal al-Quran, itu semua adalah Kalam Allah. Namun, harus dibedakan antara isi dengan medianya. Isinya adalah Kalam Allah, namun medianya adalah makhluk. Lembaran kertas mushaf itu adalah makhluk. Tinta yang tercetak padanya adalah makhluk. Suara seseorang yang melantunkan al-Quran adalah makhluk.
Karena itu ada ungkapan dari para Ulama’ Ahlussunnah:
الصَّوْتُ صَوْتُ الْقَارِي وَالْكَلاَمُ كَلاَمُ الْبَارِي
Suaranya adalah suara sang pembaca, sedangkan Kalamnya adalah Kalam al-Baari (Tuhan)(Ma’arijul Qobul karya Syaikh Hafidz bin Ahmad Hakamy (1/293))
Ahlussunnah menyakini bahwa Allah berfirman/ berbicara secara hakiki lafadz-lafadz al-Quran tersebut dengan suara yang didengar Jibril, kemudian Jibril menyampaikan kepada Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Disebut dengan kalimat ‘diturunkan’ karena memang Kalam itu disampaikan Allah yang berada di puncak ketinggian, kemudian didengar Jibril (salah satu Malaikat penduduk langit), sehingga Jibril turun ke bumi dan menyampaikan kepada Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Katsir) rahimahullah menukilkan pendapat dari seorang Ulama Syafiiyyah:
وَقَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الكرجي الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الَّذِي سَمَّاهُ ” الْفُصُولُ فِي الْأُصُولِ ” سَمِعْت الْإِمَامَ أَبَا مَنْصُورٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَحْمَد يَقُولُ : سَمِعْت الْإِمَامَ أَبَا بَكْرٍ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَحْمَد يَقُولُ : سَمِعْت الشَّيْخَ أَبَا حَامِدٍ الإسفراييني يَقُولُ : مَذْهَبِي وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَفُقَهَاءِ الْأَمْصَارِ أَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ . وَمَنْ قَالَ إنَّهُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ وَالْقُرْآنُ حَمَلَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَسْمُوعًا مِنْ اللَّهِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَهُ مِنْ جِبْرِيلَ وَالصَّحَابَةُ سَمِعُوهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ …
Syaikh al-Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Malik al-Karjiy asy-Syafi’i menyatakan dalam Kitabnya yang diberi nama ‘al-Fushuul fil Ushuul’ : saya mendengar Imam Abu Manshur Muhammad bin Ahmad berkata: Saya mendengar Imam Abu Bakr Abdullah bin Ahmad berkata: Saya mendengar Syaikh Abu Hamid al-Isrooyiini berkata: Madzhabku dan madzhab asy-Syafi’i dan (madzhab) para Fuqahaa’ di berbagai penjuru bahwasanya al-Quran adalah Kalam Allah bukan makhluk. Barangsiapa yang berkata bahwasanya ia (al-Quran) adalah makhluk, maka ia kafir. Al-Quran didengar oleh Jibril dari Allah dan Nabi shollallahu alaihi wasallam mendengarnya dari Jibril, dan para Sahabat mendengarnya dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah (12/160-161)

Al-Quran adalah salah satu dari sekian banyak Kalam Allah. AlQuran bukanlah satu-satunya Kalam Allah. Bahkan Taurat, Injil, Zabur yang diturunkan kepada para Nabi sebelumnya juga berisi Kalam Allah.
Kalam atau Kalimat Allah jumlahnya tak terhitung, sangat banyak. Allah berbicara kapan saja sesuai dengan yang dikehendakiNya dengan pembicaraan apa saja yang dikehendakiNya.
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) Kalimat Allah Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S Luqman:27)
Dalil yang menunjukkan bahwa Allah berfirman/ berbicara langsung kepada Malaikat Jibril dengan pembicaraan yang hakiki, adalah hadits:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ قَالَ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ قَالَ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ إِنِّي أُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضْهُ قَالَ فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضُوهُ قَالَ فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي الْأَرْضِ
Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman: Sesungguhnya Aku mencintai fulaan, maka cintailah dia. Maka Jibrilpun mencintai dia kemudian berseru di langit dan berkata: Sesungguhnya Allah mencintai Fulaan, maka cintailah dia. Maka para penduduk langitpun mencintainya. Kemudian diletakkanlah penerimaan di muka bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba Allah akan memanggil Jibril dan berkata: Sesungguhnya Aku membenci Fulaan, maka bencilah dia. Maka Jibrilpun membencinya. Kemudian Jibril berseru pada penduduk langit (Malaikat): Sesungguhnya Allah membenci Fulaan, maka bencilah dia. Kemudian diletakkanlah kebencian (untuknya) di muka bumi (H.R alBukhari dan Muslim, sedangkan lafadznya berdasarkan riwayat Muslim no 4772).

Sifat Berbicara (Kalam) adalah Sifat Kesempurnaan. Ketidakmampuan berbicara adalah kekurangan.
Allah cela sebagian orang musyrikin dengan menunjukkan kekurangan-kekurangan pada sesembahannya. Salah satu kekurangan itu karena mereka tidak bisa berbicara. Allah menyatakan tentang sesembahan patung kaum Nabi Musa:
وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَى مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ أَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ لَا يُكَلِّمُهُمْ وَلَا يَهْدِيهِمْ سَبِيلًا اتَّخَذُوهُ وَكَانُوا ظَالِمِينَ
Dan kaum Musa, setelah (kepergian Musa) membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan merekadan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang dzhalim (Q.S al-A’raaf:148)
أَفَلَا يَرَوْنَ أَلَّا يَرْجِعُ إِلَيْهِمْ قَوْلًا وَلَا يَمْلِكُ لَهُمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka(tidak bisa berbicara), dan tidak dapat memberi kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan? (Q.S Thoha: 89).

Nabi Ibrahim juga mendebat kaumnya dan mengajak mereka berpikir, mengapa mereka mau menyembah patung yang penuh dengan kekurangan. Salah satunya tidak bisa berbicara. Silakan tanya pada patung kalian jika memang ia berbicara:
قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآَلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (62) قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ (63)
Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan-sesembahan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara“(Q.S al-Anbiyaa’:62-62).

PENJELASAN SYARHUSSUNNAH LIL MUZANI (BAG 8.C)

Ditulis Oleh Ustadz Kharisman
HAKIKAT KEIMANAN
Tidak Gegabah dalam Mengkafirkan Seseorang

Seorang muslim tidak boleh bermudah-mudahan dalam mengkafirkan orang lain. Jangan sampai ia mengkafirkan seseorang yang sebenarnya masih muslim. Jika dia vonis seseorang sebagai kafir, padahal orang itu masih muslim, maka bisa jadi predikat kekafiran berbalik pada dirinya.
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa saja yang berkata kepada saudaranya (muslim): Wahai kafir, maka akan kembali pada dua kemungkinan. Bisa jadi benar seperti yang diucapkan, jika tidak (predikat kekafiran) akan kembali kepadanya (orang yang mengucapkan)(H.R al-Bukhari dan Muslim no 92).
Hal yang perlu dipahami adalah: Tidak semua orang yang melakukan perbuatan, mengucapkan ucapan, atau keyakinan kekufuran sekaligus menjadi kafir. Bisa saja ucapan atau perbuatannya adalah kekafiran, tapi belum tentu orangnya kafir. Mungkin saja orang tersebut melakukan atau berbicara hal itu dalam keadaan tidak tahu, tidak sengaja,  terpaksa, lupa, atau terkena syubhat dan belum tegak hujjah padanya, sehingga dia bukanlah seorang yang kafir.
Contohnya adalah seseorang yang memiliki keyakinan kufur, namun karena ketidaktahuannya, Allah ampuni dia. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa ada seseorang yang berpesan kepada anaknya agar kalau dia mati, bakarlah tubuhnya dan taburkan debunya sebagian di daratan dan sebagian di lautan. Ia takut kepada Allah. Ia takut akan adzab Allah dan beranggapan jika jasadnya terbakar dan debunya dipencar, tidak akan membangkitkan ia lagi dan tidak mengadzabnya. Namun ternyata Allah mengampuni dia. Walaupun ia tidak mengetahui sebagian dari Sifat Allah yaitu Yang Maha Berkuasa, dan meski ia memiliki bagian dari keyakinan kufur bahwa ia tidak akan dibangkitkan jika bagian tubuhnya terserak. Dia tidak terhitung kafir karena kalau kafir Allah tidak akan mengampuni dia. Ketidaktahuannya dan tidak tegaknya hujjah terhadap dia menyebabkan ia tidak dikafirkan.
Haditsnya adalah sebagai berikut:
 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ فَإِذَا مَاتَ فَحَرِّقُوهُ وَاذْرُوا نِصْفَهُ فِي الْبَرِّ وَنِصْفَهُ فِي الْبَحْرِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ لَيُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا لَا يُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ فَأَمَرَ اللَّهُ الْبَحْرَ فَجَمَعَ مَا فِيهِ وَأَمَرَ الْبَرَّ فَجَمَعَ مَا فِيهِ ثُمَّ قَالَ لِمَ فَعَلْتَ قَالَ مِنْ خَشْيَتِكَ وَأَنْتَ أَعْلَمُ فَغَفَرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Seseorang laki-laki yang tidak pernah beramal kebaikan sebelumnya berkata: Jika aku mati, bakarlah jasadku, dan taburkan debunya sebagian di daratan dan sebagian di lautan. Demi Allah jika Allah mampu untuk mengembalikan jasadku lagi niscaya Dia akan mengadzab aku dengan adzab yang (sangat pedih) tidak ada adzab seperti itu bagi seorangpun (selainku). Kemudian Allah perintahkan lautan untuk mengumpulkan (serpihan jasadnya) dan Allah perintahkan daratan untuk mengumpulkan (serpihan jasadnya). Kemudian Allah bertanya kepadanya: Mengapa engkau melakukan hal itu? Orang itu menjawab: Karena takut kepadamu dan Engkau lebih tahu. Maka Allah mengampuninya (H.R al-Bukhari no 6952 dan Muslim no 4949)
Orang tersebut adalah orang yang beriman, karena itu ia takut kepada Allah. Ia yakin dengan adzab Allah. Ia tahu Allah Maha Mengetahui. Ia beriman kepada Allah dan hari akhir secara umum, namun ada sebagian sisi keimanan yang tidak ia ketahui.
Demikian juga orang yang mengucapkan ucapan kekufuran karena dipaksa, sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka ia tidaklah kafir.
…إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ…
…kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka ia tidak kafir)….(Q.S anNahl:106).

Demikian juga perbuatan kekufuran yang dilakukan karena tidak sengaja atau lupa, tidak terhitung pelakunya sebagai orang kafir.
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku ketidaksengajaan, lupa, dan hal-hal dilakukannya karena dipaksa (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albany).

Hal lain yang menghalangi seseorang dikafirkan adalah jika ia melakukan atau mengucapkan karena ta’wil (penafsiran) yang keliru. Sebagai contoh, Sahabat Nabi Qudaamah bin Mazh-‘un keliru dalam menafsirkan suatu ayat al-Quran. Beliau menganggap bahwa ayat ke-93 dari surat al-Maaidah adalah membolehkan khamr bagi orang yang beriman. Beliau tidak dikafirkan oleh Umar bin al-Khottob dan para Sahabat yang lain karena kekeliruan penafsiran itu. Hanya saja Umar membantah penyimpangan/ kesalahan penafsiran itu, menegakkan hujjah padanya, kemudian setelah jelas kesalahannya, Umar menghukum beliau karena meminum khamr. Kisah tersebut diriwayatkan dalam Sunan anNasaai dan Mushonnaf Abdurrozzaq.
Seseorang yang memiliki akidah yang keliru, jika kekeliruannya adalah karena menta’wilkan, maka ia tidak dikafirkan. Syaikh Abdul Aziz arRojihi mencontohkan: Jika seseorang menolak bahwa Allah istiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy dengan tegas, maka ia bisa dikafirkan. Karena Allah telah menyatakan bahwa Dia ber-istiwa’ di atas ‘Arsy pada tidak kurang dari 7 ayat dalam al-Quran. Orang yang menolak itu berarti ia menentang al-Quran. Berbeda dengan orang yang melakukan ta’wil. Seandainya ia berkata: Maksudnya istiwa’ itu adalah istawla (menguasai). Maka orang ini meski mengucapkan kebatilan, tapi ia tidak bisa dikafirkan. Karena ia tidak menolak secara langsung tapi melakukan ta’wil (penafsiran) (disarikan dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz ar-Rojihi dalam Ta’liqoot ala Syarh Lum’atil I’tiqod (1/23)).
Di sinilah letak keadilan dan kasih sayang Ahlussunnah. Kadangkala Ahlussunnah membantah ucapan-ucapan kebatilan untuk membela kebenaran. Kemudian, orang-orang yang membela kebatilan itu tetap bersikukuh dengan kesesatannya dan bahkan mengkafirkan seorang Ahlussunnah tersebut. Namun si Ahlussunnah tadi tidak balik mengkafirkan orang tersebut karena ia tahu bahwa orang tersebut menyimpang karena syubhat dan menta’wilkannya. Tidak serta merta ia langsung mengkafirkan orang yang telah mengkafirkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Katsir) menyatakan:
فلهذا كان أهل العلم و السنة لا يكفرون من خالفهم و إن كان ذلك المخالف يكفرهم لأن الكفر حكم شرعي فليس للإنسان أن يعاقب بمثله كمن كذب عليك وزنى بأهلك ليس لك أن تكذب عليه و تزني بأهله لأن الكذب و الزنا حرام لحق الله تعالى و كذلك التكفير حق لله فلا يكفر إلا من كفره الله و رسوله
Karena itu, para Ulama yang mengikuti sunnah tidaklah mengkafirkan orang-orang yang menentangnya, meski penentang itu telah mengkafirkan mereka. Yang demikian karena kekufuran adalah penetapan hukum syar’i. Tidak boleh seseorang membalas dengan perlakuan yang sama (semata-mata karena ia diperlakukan demikian, pent). Sebagaimana orang yang berdusta kepadamu dan berzina dengan istrimu, tidak boleh engkau (membalas) berdusta kepadanya dan berzina dengan istrinya. Karena kedustaan dan perbuatan zina adalah haram berdasarkan hak Allah. Demikian juga pengkafiran adalah hak Allah, tidak boleh mengkafirkan (seseorang) kecuali yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya (arRaddu alal Bakariy (2/492))
Tidak Memastikan Surga dan Neraka Bagi Seorang Muslim Tertentu

Al-Muzani menyatakan: Kita tidak memastikan surga bagi orang yang berbuat baik di antara mereka (kaum muslimin), kecuali yang telah ditetapkan kepastiannya oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Kita juga tidak mempersaksikan kepastian neraka bagi orang yang berbuat keburukan di antara mereka (kaum muslimin).

Kita tidak boleh memastikan seseorang masuk surga kecuali jika telah dipastikan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallambahwa orang itu masuk surga. Seperti pada para Sahabat Nabi yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih tentang 10 orang yang masuk surga, Nabi menyatakan: Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Tholhah (bin Ubaidillah) di surga, az-Zubair (bin al-‘Awwaam) di surga, Sa’ad bin Maalik di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’iid bin Zaid di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Demikian juga sebagian Sahabat yang dipastikan masuk surga, seperti Bilal bin Rabah yang dinyatakan oleh Nabi bahwa beliau mendengar suara terompahnya di surga. Al-Hasan dan al-Husain (cucu beliau) yang disebut pemuka para pemuda penduduk surga. Ukkasyah bin Mihshon yang dipastikan Nabi termasuk 70 ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab tanpa adzab.
Semua penyebutan terhadap personal tertentu dalam alQuran dan hadits Nabi yang shahih bahwa ia masuk surga, kita tetapkan dan imani kebenarannya. Demikian juga untuk orang-orang tertentu yang dipastikan masuk neraka dalam al-Quran maupun hadits Nabi yang shahih, maka kita juga pastikan demikian. Seperti Abu Lahab, yang dipastikan masuk neraka oleh Allah dalam surat al-Lahab. Demikian juga dengan Fir’aun, Haman, dan semisalnya. Termasuk juga seseorang yang sudah dipastikan meninggal dalam keadaan kafir, seperti meninggal sebagai Nashrani, Yahudi, atau agama-agama lain selain Islam, atau meninggal dalam keadaan murtad (keluar dari Islam), maka kita menyatakan bahwa ia adalah kafir, setiap orang yang meninggal dalam kekafiran adalah di neraka, kekal selama-lamanya.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi (Q.S Aali Imran:85)
…مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah, maka Allah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang dzhalim (Q.S al-Maidah: 72)

Sedangkan kaum muslimin lain secara umum, secara personal kita tidak boleh memastikan apakah mereka masuk surga atau neraka. Tidak boleh kita menyatakan : Fulaan pasti masuk surga, atau Fulaan pasti masuk neraka.
Seorang muslim yang banyak berbuat ketaatan dan kebaikan, kita hanya bisa menyatakan: Kami berharap ia masuk surga, semoga ia termasuk penduduk surga. Sedangkan seorang muslim yang banyak berbuat kejahatan dan dosa, kita hanya bisa menyatakan: Kami mengkhawatirkan dirinya masuk neraka. Dengan keyakinan bahwa seorang muslim/ orang yang mentauhidkan Allah, bagaimanapun keadaannya, ujung-ujungnya ia akan masuk surga.
Tidak diperbolehkan juga bagi kita untuk menyebut seorang yang meninggal dunia dengan sebutan asy-Syahid (orang yang mati syahid) atau penyebutan kepastian lainnya.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
…فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Janganlah kalian mentazkiyah (memastikan kebaikan) terhadap diri kalian. Dialah yang Maha Mengetahui siapa yang paling bertaqwa (Q.S anNajm:32).
Dalam ayat tersebut Allah melarang men-tazkiyah diri kita sendiri maupun saudara kita yang lain sesama muslim. Tidak boleh kita menyatakan bahwa kita adalah orang yang pasti masuk surga, demikian juga tidak boleh memastikan hal itu pada personal tertentu yang tidak dipastikan dalam al-Quran dan al-hadits yang shahih.
Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya dengan penamaan: Laa yaquul fulaan syahiid (tidak boleh menyatakan bahwa fulaan adalah syahid). Salah satu hadits yang disampaikan pada bab itu adalah kisah dalam salah satu pertempuran di masa Nabi. Seseorang yang berada di barisan kaum muslimin berperang dengan gagah berani. Hingga hal itu menakjubkan para Sahabat yang lain. Tapi Nabi menyatakan: Dia adalah penghuni neraka. Salah seorang Sahabat yang terkejut dengan ucapan Nabi itu akhirnya berusaha terus mengikuti dan memperhatikan gerak-gerak orang tersebut. Ternyata, suatu ketika saat ia sudah terluka sangat parah, ia tidak kuat menahan itu hingga bunuh diri (H.R al-Bukhari no 2683 dan Muslim no 162). Hal itu menunjukkan bahwa kita tidak bisa memastikan seorang muslim pasti segera masuk surga. Kita hanya bisa berharap, semoga ia termasuk penghuni surga dan terjauhkan dari neraka.
Dalam suatu hadits yang lain dari Umar bin al-Khotthob dinyatakan:
لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا فُلَانٌ شَهِيدٌ فُلَانٌ شَهِيدٌ حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ فَقَالُوا فُلَانٌ شَهِيدٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَّا إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ
Pada saat hari (perang) Khaibar, sekelompok para Sahabat Nabi datang dan berkata: Fulan syahid, fulan syahid, hingga melewati seseorang dan berkata: Fulan telah mati syahid. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Sekali-kali tidak, sesungguhnya aku melihatnya di neraka karena ada selendang yang dia ambil secara curang (ghulul)(H.R Muslim no 165).
Bentuk sebutan lain yang tidak diperbolehkan adalah sebutan kepastian bahwa Allah telah mengampuninya (al-Maghfur lahu) , Allah telah merahmatinya (al-Marhuum) (Ithaafus Saa-il bimaa fit Thohaawiyyah minal Masaa-il karya Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh (33/13)). Kita hanya bisa mendoakan: semoga dia dirahmati Allah dengan sebutan Allah yarham, atau rahmatullah alaih, atau rahimahullah. Bisa juga dengan mendoakan ampunan untuknya:Ghafarallah lahu (semoga Allah mengampuni dia). Harus dibedakan antara persaksian atau kepastian dengan doa. Kalau persaksian tidak boleh, sedangkan doa diperbolehkan.
Kita hanya boleh mempersaksikan dengan penyebutan kalimat secara umum, bahwa orang yang beriman pasti masuk surga sedangkan orang kafir pasti masuk neraka.
Sebagian Ulama’ (di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) berpendapat bahwa jika mayoritas kaum muslimin mempersaksikan kebaikan seseorang (karena ketokohannya dalam Dienul Islam), maka kita boleh mempersaksikan bahwa ia adalah penduduk surga. Sebagaimana mayoritas kaum muslimin mempersaksikan kebaikan Umar bin Abdil Aziz, Imam empat madzhab (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad), al-Fudhail bin ‘Iyaadl, Abdullah bin al-Mubarak, dan semisalnya, maka kita mempersaksikan surga untuk mereka. Sebagaimana disebutkan dalam sebagian hadits, bahwa ada jenazah yang lewat di depan Nabi kemudian beberapa orang memuji kebaikan untuknya, Nabi bersabda:
مَنْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ
Siapa yang (meninggal) kalian puji dengan kebaikan, wajib baginya surga. Barangsiapa yang (meninggal) kalian puji dengan keburukan, wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksi Allah di bumi, kalian adalah para saksi Allah di bumi, kalian adalah para saksi Allah di bumi (H.R alBukhari no 1278 dan Muslim no 1578)
Ucapan Nabi: Kalian adalah para saksi Allah di muka bumi tidak berlaku pada semua kaum muslimin. Artinya, tidak semua kaum muslimin layak sebagai saksi.
Al-Imam as-Suyuthy berpendapat bahwa persaksian kebaikan seseorang itu baru teranggap benar jika disampaikan oleh para Sahabat Nabi atau orang yang seperti para Sahabat Nabi, yaitu orang yang terpercaya dan bertakwa. Hal itu disebabkan kadang seseorang mempersaksikan keadaan orang lain tidak secara obyektif, tapi hanya karena kedekatan hubungan, perasaan kasihan, dan semisalnya.
Al-Imam as-Suyuthy menjelaskan makna hadits tersebut:
( أَنْتُمْ شُهَدَاء اللَّه فِي الْأَرْض ) أَيْ الْمُخَاطَبُونَ بِذَلِكَ مِنْ الصَّحَابَة وَمَنْ كَانَ عَلَى صِفَتهمْ مِنْ الْإِيمَان وَحَكَى اِبْن التِّين أَنَّ ذَلِكَ مَخْصُوص بِالصَّحَابَةِ ؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يَنْطِقُونَ بِالْحِكْمَةِ بِخِلَافِ مَنْ بَعْدهمْ قَالَ وَالصَّوَاب أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَصّ بِالثِّقَاتِ وَالْمُتَّقِينَ .
“Kalian adalah para saksi Allah di bumi” maksudnya: yang diajak bicara dalam hadits ini adalah para Sahabat Nabi dan orang-orang yang seperti mereka dalam keimanan. Ibnut Tin menyatakan bahwa hal ini khusus untuk para Sahabat karena merekalah yang berbicara dengan hikmah, berbeda dengan orang-orang setelahnya. Namun yang benar adalah bahwa hal itu khusus untuk orang-orang yang terpercaya dan bertakwa (Haasyiah as-Suyuthy was sindi ala sunan annasaa-i no 1907)