Firman Allah Subhanahu wata'ala: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. At Taubah: 100)

Rabu, 03 Desember 2014

Penjelasan Syahussunnah Lil Muzani ( Bag.10.b)

books_on_a_shelf_6763
Ditulis Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman
SIFAT-SIFAT ALLAH
Allah Tidak Sama dengan MakhlukNya
Al-Muzani menyatakan: Maha Mulya SifatNya dari keserupaan dengan sifat-sifat makhluk
Allah tidak sama dan serupa dengan makhlukNya.
…لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada yang semisal dengan-Nya suatu apapun, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S asy-Syuura:11)
Para Ulama’ menjelaskan bahwa ada 2 hal yang tidak boleh dilakukan terkait dengan keyakinan ini, yaitu:
1. Menyerupakan Allah dengan makhluk, seperti menyatakan bahwa Tangan Allah seperti tangan makhluk, Wajah Allah seperti wajah makhluk, dan sebagainya. Ini adalah penyimpangan dalam Tauhid Asma’ WasSifaat yaitu tasybiih. Pelakunya disebut musyabbihah, dan ucapan itu adalah ucapan kekufuran.
Nu’aim bin Hammad (seorang guru al-Muzani dan al-Bukhari) menyatakan:
مَنْ شَبَّهَ اللهَ بِخَلْقِهِ، فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَنْكَرَ مَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ، فَقَدْ كَفَرَ، وَلَيْسَ فِي مَا وَصَفَ اللهُ بِهِ نَفْسَهُ وَلاَ رَسُوْلُهُ تَشْبِيْهٌ
Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya maka dia kafir. Barangsiapa yang mengingkari hal-hal yang Allah Sifatkan pada DiriNya maka dia kafir. Segala hal yang Allah Sifatkan DiriNya dan yang disifatkan oleh RasulNya tidaklah mengandung tasybih (penyerupaan) (diriwayatkan oleh adz-Dzahaby dalam Siyar A’lamin Nubalaa’ (10/610)).
Ishaq bin Rahawaih (salah seorang guru Imam al-Bukhari juga) menyatakan:
إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا
Tasybih adalah jika seseorang berkata Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk). Jika seseorang menyatakan: Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka ini adalah tasybih (penyerupaan). Namun jika seseorang berkata sebagaimana perkataan Allah: Tangan, Pendengaran, Penglihatan, dan dia tidak menyatakan ‘bagaimana’, tidak juga menyamakan Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka ini bukanlah tasybih. Itu adalah seperti yang disabdakan Allah Ta’ala dalam KitabNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya, sedangkan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S asy-Syuuro:11)(Sunan atTirmidzi no riwayat 598 (3/71)).
2. Menyerupakan suatu makhluk dengan Allah baik dalam Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma’ WasSifaat. Ini adalah kesyirikan.
Misalnya, meyakini bahwa ada seseorang selain Allah yang mengetahui takdir para makhluk di Lauhul Mahfudz. Keyakinan tersebut adalah keyakinan kafir karena hanya Allah saja yang tahu.
Larangan Takyiif
al-Muzani menyatakan: Kecerdasan pikiran makhluk tidak mampu mensifatkanNya (secara menyeluruh dan mendetail)
Secerdas apapun suatu makhluk, tidak akan mampu akalnya menjangkau kaifiyat Sifat Allah. Ucapan al-Muzani tersebut di atas menunjukkan larangan menanyakan atau memikirkan kaifiyat (seperti apa atau bagaimana) Sifat-Sifat Allah.
Di dalam suatu hadits dinyatakan:
تَفَكَّرُوْا فِى خَلْقِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوا فِى اللهِ
Berpikirlah tentang makhluk Allah, janganlah berfikir tentang (kaifiyat Dzat atau Sifat) Allah (H.R arRofi’i, dihasankan Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’)
Kadangkala bisikan Syaithan akan berhembus dalam hati seseorang, sehingga ia memikirkan sesuatu yang batil dan sangat bertentangan dengan keimanannya. Lalu, bagaimana cara mengatasinya jika terjadi was-was syaithan semacam itu yang menyelimuti hati kita?
Langkah-langkahnya telah dibimbing oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam:
1. Berkata: Aamantu billaahi wa rosuulihi (Aku beriman kepada Allah dan Rasul-RasulNya). Atau berkata: Allahu Ahad, Allaahus Shomad, Lam Yalid wa lam Yuulad wa lam yakun lahu kufwan ahad.
2. Berta’awwudz (memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan) dengan mengucapkan :A’udzu billahi minasy syaithoonir rojiim
3. Sedikit meludah pada arah kirinya 3 kali.
4. Berhenti dari memikirkan hal itu.
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ
Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian kemudian berkata: Siapa yang menciptakan ini..siapa yang menciptakan ini.. sampai ia berkata: Siapa yang menciptakan Tuhanmu. Jika telah sampai hal itu, berlindunglah kepada Allah (taawudz) dan berhentilah (H.R alBukhari no 3034 dan Muslim no 191)
يَأْتِي الشَّيْطَانُ الْإِنْسَانَ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ فَيَقُولُ اللَّهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ فَيَقُولُ اللَّهُ حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ اللَّهَ فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ فَلْيَقُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
Syaithan mendatangi manusia kemudian berkata: Siapa yang menciptakan langit? Ia berkata: Allah. Kemudian (syaithan) berkata: Siapa yang menciptakan bumi. Ia berkata Allah. Sampai (Syaithan) berkata: Siapa yang menciptakan Allah. Jika salah seorang dari kalian mengalami hal itu, ucapkanlah: Aamantu billahi wa rosuulihi (Aku beriman kepada Allah dan RasulNya) (H.R Ahmad dan atThobarony, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’)
يُوشِكُ النَّاسُ يَتَسَاءَلُونَ بَيْنَهُمْ، حَتَّى يَقُولَ قَائِلُهُمْ: هَذَا اللَّهُ خَلَقَ الْخَلْقَ، فَمَنْ خَلَقَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ؟ فَإِذَا قَالُوا ذَلِكَ، فَقُولُوا: {اللَّهُ أَحَدٌ، اللَّهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ، وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} ، ثُمَّ لْيَتْفُلْ أَحَدُكُمْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثًا، وَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
Hampir-hampir saja manusia akan saling bertanya satu sama lain, hingga ada yang berkata: Allah menciptakan makhluk. Siapakah yang menciptakan Allah Azza wa Jalla? Jika mereka berkata demikian ucapkanlah: Allahu Ahad, Allaahus shomad, lam yalid walam yuulad, wa lam yakun lahu kufuwan ahad. Kemudian (sedikit) meludahlah ke kiri 3 kali dan bertaawwudz (memohon perlindungan kepada Allah) dari syaithan (H.R Abu Dawud, anNasaai, Ibnussunni, Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany).
Allah Dekat Mengabulkan Permintaan
Al-Muzani menyatakan: Dia dekat mengabulkan permintaan
Pada saat perjalanan perang Khaibar, sebagian Sahabat mengeraskan dzikir takbirnya dengan mengucapkan: Allaahu Akbar Allaahu Akbar laa Ilaaha Illallah. Nabi yang mengetahui hal itu bersabda:
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
Rendahkanlah suara kalian. Sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli atau tidak ada, sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar Maha Dekat, dan Dia bersama kalian (H.R alBukhari no 3883 dan Muslim no 4873).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika dia berdoa kepadaKu, maka penuhilah seruanKu, dan berimanlah kepadaKu agar mereka mendapatkan petunjuk (Q.S al-Baqoroh:186).
Allah Jauh dengan Kemulyaan
al-Muzani menyatakan:… Dia (Allah) jauh dengan kemulyaan sehingga tidak bisa dijangkau oleh upaya buruk terhadapNya
Hal ini sebagaimana hadits Qudsi:
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي
Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian tidak akan bisa menyampaikan kemudharatan kepadaKu…(H.R Muslim)
Allah Tinggi di Atas ‘Arsy Terpisah dari MakhlukNya
Al-Muzani menyatakan: (Dia) Tinggi di atas Arsy-Nya terpisah dari makhlukNya. Dia ada, bukan tidak ada atau hilang
Dalam kalimat ini al-Muzani menjelaskan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhlukNya. Tidak seperti persangkaan batil bahwa Allah berada di mana-mana, atau Allah bersatu dengan hambaNya. Maha Suci Allah atas segala persangkaan batil tersebut.
Jika disebutkan bahwa Allah dekat dalam ayat maupun hadits, itu menunjukkan bahwa Allah senantiasa mengetahui segala yang dilakukan hambaNya, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar, Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu terhadap seluruh makhlukNya di manapun mereka berada.
Kaidah Iman terhadap Nama dan Sifat-Sifat Allah Secara Umum
Banyak riwayat-riwayat hadits yang shahih tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Sikap Ahlussunnah terhadap hadits-hadits yang shahih itu adalah beriman dan menetapkan (itsbat) sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan tidak memikirkan atau menanyakan tentang kaifiyatnya (‘seperti apa’ atau ‘bagaimana’), karena kaifiyatnya hanya Allah saja yang tahu. Tidak juga menyamakan dengan sifat-sifat pada makhluk. Tidak boleh kita tolak kemudian kita cari-cari alasan bahwa ‘maksudnya bukan begitu’. Janganlah menolaknya, karena hal itu adalah bagian dari iman kepada hal-hal yang ghaib. Sedangkan salah satu ciri orang yang beriman dalam surat al-Baqoroh ayat 3 adalah beriman terhadap hal yang ghaib.
Sebagai contoh, jika dalam ayat-ayat al-Quran maupun dalam hadits-hadits yang shahih dinyatakan bahwa Allah memiliki Tangan, kita beriman bahwa Allah memiliki Tangan secara hakiki sesuai dengan kesempurnaan dan kemulyaanNya. Tangan tersebut tidak sama dengan tangan makhluk manapun. Kita juga tidak boleh memikirkan atau menanyakan seperti apa atau bagaimana Tangan Allah itu. Tidak boleh kita cari-cari makna lain untuk menolak penetapan Tangan tersebut, kemudian menganggap bahwa maksud dari ‘Tangan’ dalam ayat atau hadits itu adalah ‘kekuatan’ bukan tangan yang sebenarnya.
Mari kita simak akidah dari Ulama’ Ahlul Hadits, sebagai contoh al-Imam atTirmidzi (salah seorang murid al-Imam al-Bukhari). Beliau meriwayatkan hadits berikut dalam kitab Sunan atTirmidzi no 598:
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا لِأَحَدِكُمْ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ مُهْرَهُ حَتَّى إِنَّ اللُّقْمَةَ لَتَصِيرُ مِثْلَ أُحُدٍ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ { أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ } وَ { يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ }
Sesungguhnya Allah menerima shodaqoh dengan Tangan Kanannya kemudian Allah tumbuhkan untuk salah seorang dari kalian sebagaimana kalian memelihara kuda kecil (hingga menjadi besar). Sampai-sampai (shodaqoh) sesuap (makanan) akan terus membesar hingga sebesar gunung Uhud. Bukti pembenaran hal itu dalam al-Quran adalah :
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ
Tidakkah kalian tahu bahwasanya Allah menerima taubat dari hambaNya dan mengambil shodaqoh-shodaqoh (Q.S atTaubah:104).
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah membinasakan riba dan menumbuhkan shodaqoh-shodaqoh (Q.S al-Baqoroh: 276).
(H.R atTirmidzi no 598)
Selanjutnya, al-Imam atTirmidzi menyatakan:
وَقَدْ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنْ الرِّوَايَاتِ مِنْ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِي هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلَا يُتَوَهَّمُ وَلَا يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلَا كَيْفٍ وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الْآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَاهُنَا الْقُوَّةُ و قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }
Lebih dari 1 Ulama menyikapi hadits ini maupun hadits lain yang semisal dengan ini berupa periwayatan tentang Sifat-Sifat dan Turunnya Allah Ta’ala pada tiap malam ke langit dunia, mereka berkata: Riwayat-riwayat tentang ini adalah sah, wajib diimani, tidak boleh dipersangkakan atau dikatakan : ‘Bagaimana?’. Demikianlah yang diriwayatkan dari Malik, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin alMubarok, bahwasanya mereka menyatakan tentang hadits-hadits semacam ini: Tetapkanlah tanpa bertanya ‘bagaimana’. Demikian juga ucapan para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Adapun al-Jahmiyyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan berkata: Ini adalah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Padahal Allah telah menyebutkan tidak hanya di satu tempat dalam KitabNya (tentang) Tangan, Pendengaran, Penglihatan. Al-Jahmiyyah menakwilkan ayat-ayat ini kemudian menafsirkan dengan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran para Ulama. Mereka (al-Jahmiyyah) berkata: Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan Adam dengan TanganNya. Mereka (al-Jahmiyyah) berkata: Sesungguhnya makna ‘tangan’ di sini adalah ‘kekuatan’. Ishaq bin Ibrahim (salah seorang guru al-Bukhari) menyatakan: Tasybih adalah jika seseorang berkata Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk). Jika seseorang menyatakan: Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka ini adalah tasybih (penyerupaan). Namun jika seseorang berkata sebagaimana perkataan Allah: Tangan, Pendengaran, Penglihatan, dan dia tidak menyatakan ‘bagaimana’, tidak juga menyamakan Pendengaran (Alla) seperti pendengaran (makhluk), maka ini bukanlah tasybih. Itu adalah seperti yang disabdakan Allah Ta’ala dalam KitabNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya, sedangkan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S asy-Syuuro:11)(Sunan atTirmidzi no riwayat 598 (3/71)).
Al-Imam Malik pernah ditanya oleh seseorang tentang bagaimana/ seperti apa Allah istiwa’ di atas ‘Arsy. Maka al-Imam Malik menyatakan:
الاستواء منه معلوم، والكيف منه غير معقول، والسؤال عن هذا بدعة، والايمان به واجب
Al-Istiwa’ (maknanya) sudah diketahui, kaifiyatnya adalah sesuatu yang tidak di terjangkau akal, bertanya tentangnya adalah bid’ah, dan beriman terhadapnya adalah wajib (Siyar A’lamin Nubalaa’ karya adz-Dzahaby (8/106-107))
Perkataan al-Imam Malik tersebut menunjukkan bahwa makna ayat tentang Sifat Allah itu sudah jelas. Kaifiyatnya ada namun tidaklah diketahui kecuali oleh Allah. Sehingga tidak diperbolehkan bagi kita untuk menanyakan ‘seperti apa’ atau ‘bagaimana’. Beriman terhadap apa yang dikabarkan oleh Allah adalah wajib.

KENISCAYAAN SENANTIASA MENGHISAB JIWA

pohon
Ditulis Oleh Al Ustadz Marwan
Adalah suatu keniscayaan setiap individu kita untuk senantiasa menghisab jiwa-jiwa kita, sebelum semua perkara yang telah dilakukan jiwa manusia ditampakkan di hari di mana tiada suatu apapun yang tersembunyi. Yaitu hari penghisaban pada hari kiamat kelak. Dan sungguh seorang yang senantiasa merenungi, menghitung-hitung amalan dirinya, hingga kemudian ia bertaubat dari berbagai kesalahan dan segera kembali kepada Allah Ta’aala.
Semua konsekwensi dari tindakannya tersebut masih lebih ringan dibandingkan dengan penghisaban nanti di hari akhir, sedangkan penghisaban di hari akhir adalah suatu kepastian adanya, sementara kematian senantiasa berada di belakang mengikuti setiap individu, pada saatnya yang telah ditetapkan Allah jalla Jalaaluhu, kematian itu akan memberhentikan langkah anda, karena ia telah mendapati anda.
Umar bin Khaththab –radhiallahu ‘anhu- memperingatkan di dalam sebuah penuturannya :
Hisablah jiwa-jiwa kalian sebelum kalian dihisab (di hari kiamat). Dan timbanglah jiwa-jiwa kalian sebelum kalian ditimbang di hari kiamat, sungguh yang demiikian itu lebih ringan atas kalian dibanding penghisaban kelak di hari kiamat dan timbanglah jiwa-jiwa kalian untuk menghadapi hari yang sangat besar (hari kiamat), firman Allah Ta’aala :
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ
Artinya : Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).(al-Haaqah : 18)
Berkata al-Hasan al-Basri –rahimahullah- : Hanya sanya akan ringan hisab seseorang pada hari kiamat kelak yaitu atas kaum yang senantiasa menghisab jiwa-jiwa mereka di dunia, dan sungguh akan mengalami keberatan hisab pada hari kiamat atas suatu kaum yang tidak menghisab jiwa-jiwa mereka di dunia ini.
 KEHARUSAN MENJUAL JIWA DISETIAP MASUK WAKTU PAGI, BERUNTUNG ATAU MERUGI.
Saudaraku rahimakumullah.
Sebagaimana ternukil dari sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, riwayat Muslim dari hadits Abu Malik al-Haritsi bin ‘Ashim al-As’ari –radhiallahu’anhu- Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أو مُوبِقُهَا
Setiap pagi manusia menjual jiwanya, apakah ia memerdekakan jiwanya atau membinasakannya.
Ditunjukkan di dalam hadits ini, bahwa setiap individu manusia di setiap waktu pagi menjadi keharusan baginya untuk melakukan suatu tindakan dan upaya, dan tindakan serta upaya yang dilakukan setiap usai bangun mengawali harinya tersebut hanya terdapat dua kemungkinan, apakah upaya yang dilakukan tersebut adalah tindakan yang membinasakan jiwanya ataukah sebaliknya yaitu membebaskan jiwanya. Dimaksudkan bahwa ketika seseorang berlaku amalan ketaatan semenjak bangun di pagi harinya sungguh ia telah membebaskan jiwanya dari ancaman adzab Allah Ta’aala, namun sebaliknya jika ia di pagi harinya tersebut memulai dengan perbuatan kemaksiatan sungguh ia telah menjual jiwanya dengan kebinasaan yang menjadikan konsekwensi adzab Allah Ta’aala.
Al-Hasan Al-Basri rahimahullahu menuturkan : Wahai sekalian manusia, sungguh anda masuk waktu pagi semua kemudian bertindak untuk melakukan suatu aktifitas dalam rangka mencari keberuntungan. Maka titik beratkan perhatian besar anda adalah terkait keberuntungan jiwa anda, karena sungguh tidaklah ada keberuntungan yang paling besar selamanya kecuali keberuntungan yang diraih oleh jiwa manusia.
Kesimpulannya bahwa orang-orang yang beriman sajalah mereka pada setiap bangun di pagi pada hari-harinya senantiasa menjual jiwanya untuk Allah Ta’aala dengan harga yang sangat mahal yaitu dengan Jannah. Firman Allah Ta’aala :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka (at-taubah : 111).
Dan firman Allah Ta’aala :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (al-Baqarah : 207).
Muhammad ibnu al-Hanafiyah –rahimahullah- mengatakan : Sesungguhnya Allah Ta’aala menjadikan jannah (surga) sebuah nilai ( yang sangat besar) untuk jiwa-jiwa kalian, maka janganlah kalian menjual jiwa-jiwa kalian dengan nilai yang lain selain jannah, sungguh seorang yang merugi itu adalah seorang yang merugikan dirinya sendiri dan menjual jiwanya dengan sekedar perkara dunia yang akan binasa, firman Allah Ta’aala :
إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (az-Zumar : 15).
Wallahu Ta’aala a’lam.

Senin, 01 Desember 2014

Penjelasan Syahussunnah Lil Muzani ( Bag.10.a)

Ditulis Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman
SIFAT-SIFAT ALLAH

Al-Muzani rahimahullah menyatakan:
وَكَلِمَاتُ اللهِ وَقُدْرَةُ اللهِ وَنَعْتُهُ وَصِفَاتُهُ كَامِلاَتٌ غَيْرُ مَخْلُوْقَاتٍ دَائِمَاتٌ أَزَلِيَّاتٌ وَلَيْسَتْ بِمُحْدَثاَتٍ فَتَبِيْد وَلاَ كَانَ رَبُّنَا نَاقِصًا فَيَزِيْد جَلَّتْ صِفَاتُهُ عَنْ شِبْهِ صِفَاتِ الْمَخْلُوْقِيْنَ وَقَصُرَتْ عَنْهُ فِطَنُ الْوَاصِفِيْنَ قَرِيْبٌ بِالْإِجَابَةِ عِنْدَ السُّؤَالِ بَعِيْدٌ بِالتَّعَزُّزِ لاَ يُناَلُ عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ مَوْجُوْدٌ وَ لَيْسَ بِمَعْدُوْمٍ وَلاَ بِمَفْقُوْدٍ
Kalimat-kalimat Allah, Kekuasaan Allah, dan Sifat-sifatNya adalah sempurna, bukan makhluk. (Sifat-sifat) itu selalu ada (abadi) dan azali (tidak bermula dari ketiadaan), tidaklah merupakan hal-hal yang baru sehingga bisa lenyap. Tuhan kita juga tidaklah mengandung kekurangan hingga butuh penambahan. Maha Mulya SifatNya dari keserupaan dengan sifat-sifat makhluk. Kecerdasan pikiran makhluk tidak mampu mensifatkanNya (secara menyeluruh dan mendetail). Dia dekat mengabulkan permintaan, jauh dengan kemulyaan sehingga tidak bisa dijangkau oleh upaya buruk terhadapNya. Tinggi di atas Arsy-Nya terpisah dari makhlukNya. Dia ada, bukan tidak ada atau hilang

PENJELASAN:
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang:
  1. Sifat Allah Sempurna dan Bukan Makhluk.
  2. Sifat-Sifat Allah Abadi dan Azali.
  3. Allah Tersucikan dari Kekurangan
  4. Allah Tidak Sama dengan MakhlukNya.
  5. Larangan Takyiif.
  6. Allah Dekat Mengabulkan Permintaan.
  7. Allah Jauh dengan Kemulyaan
  8. Tinggi Di Atas Arsy Terpisah dari MakhlukNya.
  9. Kaidah Iman terhadap Nama-Nama dan Sifat Allah Secara Umum

Sifat Allah Sempurna dan Bukan Makhluk
Al-Muzani menyatakan: Kalimat-kalimat Allah, Kekuasaan Allah, dan Sifat-sifatNya adalah sempurna, bukan makhluk

Kalimat-Kalimat Allah seluruhnya sempurna.
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا…
dan telah sempurna Kalimat Tuhanmu dalam kebenaran (kejujuran) dan keadilan… (Q.S al-An’aam:115)
Para Ulama menjelaskan bahwa Kalimat Allah terbagi menjadi 2 macam, yaitu Kauniyyah dan Syar’iyyah. Kalimat Kauniyyah adalah segala yang Allah takdirkan terjadi di dunia ini dengan ucapan: Kun (jadilah), maka terjadilah yang Allah kehendaki. Sedangkan kalimat syar’iyyah adalah segala aturan syariat yang telah Allah tetapkan, berupa perintah dan larangan. Semua jenis Kalimat Allah tersebut adalah sempurna dalam kebenaran dan keadilan.
Segala yang telah Allah takdirkan adalah adil dan benar (tidak meleset sedikitpun dari yang telah dituliskan).
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menyatakan dalam salah satu doanya:
…عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ…
…Sungguh adil ketetapanMu terhadapku…(H.R Ahmad, dishahihkan oleh al-Hakim dan al-Albany)
Segala Kalimat Allah dalam al-Quran adalah penuh dengan kejujuran dan keadilan. Jujur, artinya khabar-khabarnya benar, pasti terjadi, tidak dusta. Adil artinya: perintah dan larangan Allah sangat tepat dan sesuai untuk diterapkan, tidak bisa digantikan oleh aturan lainnya. Adil, tidak mengandung unsur kedzhaliman.
Seluruh Sifat Allah adalah sempurna.
…وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأَعْلَى…
… dan untuk Allahlah Sifat yang sempurna…(Q.S anNahl:60).
Sebagaimana Dzat Allah adalah sempurna, Sifat-SifatNya juga sempurna.
Demikian juga, seluruh Nama-Nama Allah adalah baik
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Dan Allah memiliki Nama-Nama yang baik… (Q.S al-A’raaf:180)
Setiap Nama mengandung Sifat yang sempurna.
Seluruh Sifat Allah adalah sempurna, dan bukan makhluk
Sifat Allah adalah Abadi dan Azali

Al-Muzani menyatakan: Sifat-sifat) itu selalu ada (abadi) dan azali (tidak bermula dari ketiadaan)

Abadi artinya tidak akan pernah berakhir atau binasa, akan selalu ada. Sedangkan Azali artinya tidak bermula dari ketiadaan.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ
 Ya Allah, Engkaulah al-Awwal yang tidak ada sesuatupun sebelumMu, dan Engkau adalah al-Aakhir yang tidak ada sesuatupun setelahMu…..(H.R Muslim no 4888)
Ahlussunnah meyakini bahwa Allah memiliki Sifat Dzatiyyah dan Fi’liyyah. Sifat Dzatiyyah adalah Sifat-Sifat yang senantiasa melekat dan ada pada Allah, seperti Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan semisalnya. Sedangkan Sifat Fi’liyyah adalah Sifat yang terkait dengan kehendak Allah. Allah berbuat sesuai dengan yang dikehendakiNya. Seperti Mencintai, Merahmati, atau Murka, Berbicara, dan sebagainya.
Sebagian Ahlul Bid’ah menetapkan Sifat Dzatiyyah saja dan menolak Sifat-Sifat Fi’liyyah.
Allah Tersucikan dari Segala Kekurangan
Al-Muzani menyatakan : Tuhan kita juga tidaklah mengandung kekurangan hingga butuh penambahan
Allah tersucikan dari segala macam aib, cela, dan kekurangan. Dalam al-Quran, kadang Allah sebutkan pensucian untuk DiriNya secara umum, seperti :
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai kemulyaan dari apa yang mereka katakan (Q.S as-Shoffaat:180).
Kadangkala Allah sebutkan peniadaan sifat kekurangan tertentu pada diriNya. Contohnya sifat lemah, lupa, lalai, mengantuk, tidur, dan capek.
  وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلاَ فِي اْلأَرْضِ (فاطر : 44)
“ Dan tidak ada suatu pun bagi Allah yang dapat melemahkanNya di langit maupun di bumi “(Q.S Faathir : 44)
وَماَ كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا ( مريم : 64)
Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan lupa …”(Q.S Maryam : 64)
وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ( البقرة : 74)
Dan Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kalian perbuat “(Q.S AlBaqoroh : 74)
لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَّلاَ نَوْمٌ (البقرة :255)
“ Dan tidaklah menghinggapiNya mengantuk maupun tidur (Q.S AlBaqoroh : 255)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَّمَا مَسَّنَا مِنْ لُّغُوْبٍ ( ق : 38)
“ Dan sungguh telah Kami ciptakan langit-langit dan bumi dan di antara keduanya dalam enam hari dan tidaklah menghinggapi Kami perasaan capek “ (Q.S Qoof : 38)
Namun, para Ulama’ menjelaskan bahwa dalam al-Quran jauh lebih banyak penetapan Sifat-Sifat Yang Sempurna bagi Allah dibandingkan peniadaan sifat-sifat kekurangan tertentu.

sumber: http://salafy.or.id/blog/2013/12/21/penjelasan-syahussunnah-lil-muzani-bag-10-a/

Jumat, 28 November 2014

Rekaman Kajian Menganti-Cerme Gresik CD 05



01. Kitab Tauhid (larangan beribadah kpd Allah dikuburan_01) Ustad Agus Su'aidi
02. Kitab Tauhid (larangan beribadah kpd Allah dikuburan_02) Ustad Agus Su'aidi
03. Kitab Tauhid (Ghuluw trhd kuburan orang sholeh) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
04. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 27 Ustad Abul Hasan Assidawi
05. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 28 Ustad Abul Hasan Assidawi
06. Al Minzhaar (Thowaf di kuburan) Ustad Muhammad Irfan
07. Al Minzhaar (Ghuluw kepada orang2 sholeh) Ustad Muhammad Irfan
08. Al Minzhaar (Rukyah dan Jimat) Ustad Muhammad Irfan
09. Ushulus Sunnah (Larangan belajar debat) Ustad Abu Sufyan Al Musy
10. Ushulus Sunnah (Ru'yatullah) Ustad Abu Sufyan Al Musy
11. Ushulus Sunnah (Telaga Rasulullah dan Mizan) Ustad Abu Sufyan Al Musy
12. Adabul Mufrod (Membalas kebaikan kedua orang tua_1) Ustad Abul Hasan Assidawi
13. Adabul Mufrod (Membalas kebaikan kedua orang tua_2) Ustad Abul Hasan Assidawi
14. Minhajus Salikin (Li'an) Ustad Abu Sufyan Al Musy
15. Minhajus Salikin (Iddah_1) Ustad Abu Sufyan Al Musy
16. Minhajus Salikin (Iddah_2) Ustad Abu Sufyan Al Musy
17. Durusul Muhimmah (Konsekuensi Syahadatain) Ustad Abdul Latif
18. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_1) Ustad Abdul Latif
19. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_2) Ustad Abdul Latif
20. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_3) Ustad Abdul Latif
21. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_4) Ustad Abdul Latif
22. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_5) Ustad Abdul Latif
23. Durusul Muhimmah (Muhammad Rasulullah) Ustad Abdul Latif
24. Durusul Muhimmah (Rukun Iman) Ustad Abdul Latif
25. Durusul Muhimmah (Beriman Kepada Allah Ta'ala) Ustad Abdul Latif
26. Durusul Muhimmah (Beriman kpd malaikat2 Allah) Ustad Abdul Latif
27. Durusul Muhimmah (Ikhlas sesuai dgn sunnah) Ustad Abdul Latif
28. Adabul Mufrod (memuliakan tamu) Ustad Abu Mas'ud Jarot
Bonus Track:
29. Syaikh Dr. Muhammad Bazmul (Muamalah sesama muslim_1)
30. Syaikh Dr. Muhammad Bazmul (Muamalah sesama muslim_2)
31. Syaikh Dr. Muhammad Bazmul (Muamalah sesama muslim_3)

Senin, 17 November 2014

Hal-hal Yang Memalingkan Dari Kebenaran – Bagian 8

Hal-hal Yang Memalingkan Dari Kebenaran-ujubHAL-HAL YANG MEMALINGKAN DARI KEBENARAN
Asy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
Kedelapan ~ Ujub
Ujub atau merasa kagum dan bangga dengan diri sendiri menjadikan pelakunya memuliakan dirinya sendiri, sehingga dia merasa senang dan cukup dengan apa yang dia miliki, akibatnya dia menganggap bahwa kebenaran tidak muncul kecuali dari dirinya, seakan-akan dia memang diberi tugas khusus untuk membawanya. Ini merupakan sifat orang-orang kafir sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوْا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُوْنَ.
“Maka tatkala para rasul yang diutus kepada mereka membawa keterangan-keterangan yang jelas, orang-orang kafir itu merasa senang dengan ilmu yang mereka miliki, akibatnya mereka ditimpa apa yang dahulu selalu mereka jadikan sebagai bahan olok-olokan.” (QS. Ghafir: 83)
Jika seseorang merasa kagum dengan dirinya dan merasa cukup dengan apa yang dia miliki, maka sempurna sudah kerugiannya, karena dia tidak akan mungkin menoleh kepada perkataan orang lain, apalagi menerimanya jika itu merupakan kebenaran.
Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ هَوًى مُتَّبَعًا، وَشُحًّا مُطَاعًا، وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ.
“Jika engkau melihat hawa nafsu diikuti, kekiriran ditaati, dan setiap orang yang punya pendapat merasa kagum dengan pendapatnya, maka hendaknya engkau mengurusi dirimu sendiri.” [1]
Orang yang kagum dengan dirinya sendiri hanya merasakan dirinya saja yang memiliki keuatamaan dan terus memperhatikannya, dan penilaian semacam ini mengakibatkan kekurangan dan tidak meraih keutamaan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:
أَلَا تَرَى أَنَّ الَّذِيْ يُعَظِّمُ نَفْسَهُ بِالْبَاطِلِ يُرِيْدُ أَنْ يَنْصُرَ كُلَّ مَا قَالَهُ وَلَوْ كَانَ خَطَأً.
“Tidak engkau perhatikan bahwa orang yang memuliakan dirinya sendiri walaupun dengan kebathilan, dia ingin membela semua yang dia katakan walaupun salah.” [3]
Bahkan seandainya dia benar dan berani terang-terangan menampakkan kebenaran, maka hendaklah dia mewaspadai sifat ujub, karena seringnya hal itu akan merusak buah dari amal shalihnya.
Al-Hafizh Adz-Dzahaby rahimahullah berkata:
فَكَمْ مِنْ رَجُلٍ نَطَقَ بِالْحَقِّ وَأَمَرَ بِالمَعْرُوْفِ، فَيُسَلِّطُ اللهُ عَلَيْهِ مَنْ يُؤذِيْه لِسُوْءِ قَصْدِهِ وَحُبِّهِ لِلرِّئَاسَةِ الدِّيْنِيَّة، فَهَذَا دَاءٌ خَفِيٌّ سَارٍ فِيْ نُفُوْسِ الفُقَهَاءِ.
“Betapa banyak orang yang berbicara benar dan memerintahkan yang ma’ruf, namun Allah menguasakan atasnya orang yang menyakiti dirinya disebabkan buruknya niat dia dan senangnya dia terhadap kepemimpinan dalam urusan agama. Jadi semacam ini merupakan penyakit tersembunyi yang menjalar di hati para ulama.” [4]
Jiwa tabiatnya tidak mau tunduk dan mengikuti kebenaran dan tertanam padanya jenis kesombongan dan membela orang yang menyelisihi kebenaran, kecuali yang yang dilindungi oleh Allah. Terlebih lagi orang yang tidak pernah duduk bermajelis dengan orang-orang yang menjadi teladan dari orang-orang yang jika mereka diingatkan dengan ayat-ayat Allah mereka tidak menyikapinya seperti orang tuli dan buta.
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:
لَوْ أَنَّ الْمُبْتَدِعَ تَوَاضَعَ لِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ لَاتَّبَعَ وَمَا ابْتَدَعَ، وَلَكِنَّهُ أُعْجِبَ بِرَأْيِهِ فَاقْتَدَى بِمَا اخْتَرَعَ.
“Seandainya seorang mubtadi’ tawadhu’ kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, niscaya dia akan mengikuti kebenaran dan tidak akan mengada-adakan bid’ah, tetapi dia merasa kagum dengan pendapatnya sehingga lebih mengikuti apa yang dia buat-buat.” [5]
Beliau juga mengatakan tentang tawadhu’:
أَنْ تَخْضَعَ لِلْحَقِّ وَتَنْقَادَ لَهُ مِمَّنْ سَمِعْتَهُ وَلَوْ كَانَ أَجْهَلَ النَّاسِ لَزِمَكَ أَنْ تَقْبَلَهُ مِنْهُ.
“Yaitu dengan engkau tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa saja yang engkau dengar, walaupun dia adalah manusia yang paling bodoh maka kebenaran itu wajib engkau terima darinya.” [6]
Sifat ujub akan menyebabkan pemiliknya tidak mau meminta pertolongan kepada Rabbnya, hal itu karena dia mengandalkan dirinya sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَالْعُجْبُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالنَّفْسِ وَهَذَا حَالُ الْمُسْتَكْبِرِ، فَالْمُرَائِي لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ} وَالْمُعْجَبُ لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: {وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
“Ujub termasuk perbuatan menyekutukan Allah dengan diri sendiri, dan ini merupakan keadaan orang yang sombong. Jadi kalau orang yang beramal karena riya’ dia tidak merealisasikan firman Allah: “Hanya kepada-Mu kami beribadah”, sedangkan orang yang ujub tidak merealisasikan firman-Nya: “Hanya kepada-Mu memohon pertolongan.” [7]
Sifat ujub dan sombong saling berkaitan erat, jadi tidaklah ditimpa sifat ujub kecuali orang yang sombong.
Ibnu Hibban rahimahullah berkata:
إِنَّهُ لَا يَتَكَّبَرُ عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يُعْجَبَ بِنَفْسِهِ وَيَرَى لَهَا عَلَى غَيْرِهَا الْفَضْلَ.
“Sesungguhnya seseorang tidak akan menyombongkan diri kepada seorang pun hingga dia merasa kagum dengan dirinya dan menganggap dirinya memiliki keutamaan atas orang lain.” [8]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وَأَمَّا الْكِبْرُ فَأَثَرٌ مِنْ آثَارِ الْعُجْبِ وَالْبَغْيِ مِنْ قَلْبٍ قَدْ امْتَلَأَ بِالْجَهْلِ وَالظُّلْمِ وَتَرَحَّلَتْ مِنْهُ الْعُبُوْدِيَّةُ وَنَزَلَ عَلَيْهِ الْمَقْتُ فَنَظَرُهُ إِلَى النَّاسِ شَزْرٌ وَمَشْيُهُ بَيْنَهُمْ تَبَخْتُرٌ وَمُعَامَلُتُهُ لَهُمْ مُعَاملَةُ الْإِسْتِئْثَارِ لَا الْإِيْثَارِ وَلَا الْإِنْصَافِ.
“Adapun kesombongan maka hal itu termasuk salah satu pengaruh dari sifat ujub dan melanggar hak orang lain yang muncul dari hati yang penuh kebodohan dan kezhaliman, sifat sebagai seorang hamba telah meninggalkan hati tersebut dan kemurkaan telah menimpanya, akibatnya pandangan dia kepada manusia adalah pandangan merendahkan, cara berjalan dia di tengah-tengah mereka penuh kecongkakan, dan cara bermuamalah dengan mereka seperti orang yang mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain serta tidak bersikap adil.” [9]
Seorang hamba tabi’at dasarnya mencintai dirinya dan merasa kagum dengan dirinya, maka jika seorang hamba tidak bersikap adil dalam menilai dirinya, hal itu akan menjerumuskannya ke dalam berbagai kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَحُبُّكُ الشَّيْءَ يُعْمِيْ وَيُصِمُّ، وَالْإِنْسَانُ مَجْبُوْلٌ عَلَى مَحَبَّةِ نَفْسِهِ فَهُوَ لَا يَرَى إِلَّا مَحَاسِنَهَا، وَمُبْغِضٌ لِخَصْمِهِ فَلَا يَرَى إِلَّا مَسَاوِئَهُ.
“Kecintaanmu kepada sesuatu bisa membuatmu buta dan tuli, dan manusia tabiat dasarnya mencintai dirinya sehingga dia tidak melihat kecuali kebaikan-kebaikan dirinya, dan tabiat dasarnya membenci musuhnya sehingga dia tidak melihat kecuali keburukan-keburukan musuhnya.” [10]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menjelaskan tawadhu’:
أَنْ يَتَلَقَّى سُلْطَانَ الْحَقِّ بِالْخُضُوْعِ لَهُ وَالذُّلِّ وَالْإِنْقِيَادِ وَالدُّخُوْلِ تَحْتَ رِقِّهِ. بِحَيْثُ يَكُوْنُ الْحَقُّ مُتَصَرِّفًا فِيْهِ تَصَرُّفَ الْمَالِكِ فِيْ مَمْلُوْكِهِ. فَبِهَذَا يَحْصُلُ لِلْعَبْدِ خُلُقُ التَّوَاضُعِ. وَلِهَذَا فَسَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكِبْرَ بِضِدِّهِ. فَقَالَ: «الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ» فَبَطْرُ الْحَقِّ: رَدُّهُ وَجَحْدُهُ، وَالدَّفْعُ فِي صَدْرِهِ. كَدَفْعِ الصَّائِلِ. وَغَمْطُ النَّاسِ: احْتِقَارُهُمْ وَازْدِرَاؤُهُمْ. وَمَتَى احْتَقَرَهُمْ وَازْدَرَاهُمْ: دَفَعَ حُقُوقَهُمْ. وَجَحَدَهَا، وَاسْتَهَانَ بِهَا. وَلَمَّا كَانَ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالٌ وَصَوْلَةٌ: كَانَتِ النُّفُوْسُ الْمُتَكَبِّرَةُ لَا تَقَرُّ لَهُ بِالصَّوْلَةِ عَلَى تِلْكَ الصَّوْلَةِ الَّتِيْ فِيْهَا، وَلَا سِيَّمَا النُّفُوْسَ الْمُبْطِلَةَ. فَتَصُوْلُ عَلَى صَوْلَةِ الْحَقِّ بِكِبْرِهَا وَبَاطِلِهَا. فَكَانَ حَقِيْقَةُ التَّوَاضُعِ: خُضُوْعَ الْعَبْدِ لِصَوْلَةِ الْحَقِّ، وَانْقِيَادَهُ لَهَا. فَلَا يُقَابِلُهَا بِصَوْلَتِهِ عَلَيْهَا.
“Menerima kekuatan kebenaran dengan penuh ketundukan, merendahkan diri, patuh, dan masuk di bawah kendalinya, yaitu dengan cara kebenaran mengatur dirinya seperti seorang raja yang mengatur kerajaannya. Dengan inilah seorang hamba bisa meraih akhlak tawadhu’. Oleh karena inilah Nabi shallallahu alaihi was sallam menjelaskan bahwa kesombongan dengan sesuatu yang menjadi lawannya, yaitu dalam sabda beliau: “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Makna (بَطَرُ الْحَقِّ) adalah menolak kebenaran, menentangnya, dan mengusirnya seperti mengusir orang yang hendak berbuat jahat.
Sedangkan makna (غَمْطُ النَّاسِ) adalah merendahkan manusia dan meremehkan mereka. Dan kapan saja seseorang merendahkan manusia dan meremehkan mereka, maka dia akan menolak hak-hak mereka, menentangnya, dan menghinanya.
Tatkala seseorang yang di atas kebenaran memiliki kemampuan menyampaikan argumentasi dan kekuatan, maka jiwa-jiwa yang sombong tidak mau mengakui kekuatannya terhadap kekuatan yang dia miliki, terlebih lagi jiwa-jiwa pengusung kebathilan, mereka akan menyerang kekuatan kebenaran dengan kesombongan dan kebathilannya.
Maka hakikat tawadhu’ adalah ketundukan seorang hamba terhadap kekuatan kebenaran dan patuh kepadanya, jadi dia tidak akan melawannya dengan kekuatan yang dia miliki.
–selesai perkataan Ibnul Qayyim–
Bersambung In Syaa Allah
Jum’at, 14 Muharram 1436 H
****************************
Catatan kaki:
  1. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Malahim (IV/512 no. 4341), At-Tirmidzy dalam kitab At-Tafsir (V/257-258), dan Al-Hakim (IV/322) dan dinilai shahih olehnya dan disepakati oleh Adz-Dzahaby, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyany.
    (Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah menilai hadits ini lemah dalam Silsilah Adh-Dhai’ifah no. 1025 –pent)
  2. Iqtidhaa’us Shiraathil Mustaqiim (I/453).
  3. Majmuu’ul Fataawaa (X/292).
  4. Siyar A’laamin Nubalaa’ (XVIII/192).
  5. At-Tadzkirah fil Wa’zhi, hal. 97.
  6. Jaami’ Bayaaninil ‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 226.
  7. Al-Fataawaa Al-Kubraa, V/247-248.
  8. Raudhatul ‘Uqalaa’, hal. 61.
  9. Ar-Ruuh, II/703.
  10. Qaa’idah Fil Mahabbah (II/328).
  11. Madaarijus Saalikin (II/246).

Senin, 10 November 2014

Rekaman Kajian Menganti-Cerme Gresik CD 04



01. Kitab Tauhid (Sebab Kesyirikan Bani Adam) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
02. Kitab Tauhid (Sebab Kesyirikan Bani Adam_2) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
03. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 25 Ustad Abul Hasan Assidawi
04. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 26 Ustad Abul Hasan Assidawi
05. Al Minzhaar (Muqaddimah) Ustad Muhammad Irfan
06. Al Minzhaar (Sembelihan Untuk Selain Allah) Ustad Muhammad Irfan
07. Ushulus Sunnah (Beriman kepada takdir) Ustad Abu Sufyan Al Musy
08. Ushulus Sunnah (Beralasan dg Takdir untuk kemaksiatan) Ustad Abu Sufyan Al Musy
09. Ushulus Sunnah (Menerima semua hadits nabi yg shahih) Ustad Abu Sufyan Al Musy
10. Adabul Mufrod (Berkata yg baik kpd kedua orang tua_2) Ustad Abul Hasan Assidawi
11. Adabul Mufrod (Berkata yg baik kpd kedua orang tua_3) Ustad Abul Hasan Assidawi
12. Manhajus Salikin (Talak_2) Ustad Abu Sufyan Al Musy
13. Manhajus Salikin (Ila') Ustad Abu Sufyan Al Musy
14. Manhajus Salikin (Zhihar) Ustad Abu Sufyan Al Musy
15. Perhiasan Penuntut Ilmu_2 Ustad Abu Mas'ud Jarot
16. Durusul Muhimmah (Muqaddimah) Ustad Abdul Latif
17. Durusul Muhimmah (Laa ilaha ilallaah) Ustad Abdul Latif
18. Jihadun Nafs_1 Syaikh Ubaid Al Jabiri
19. Jihadun Nafs_2 Syaikh Ubaid Al Jabiri

Jumat, 07 November 2014

Rekaman Kajian Menganti-Cerme Gresik CD 03



01. Kitab Tauhid (malaikat bersujud kepada Allah Ta'ala) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
02. Kitab Tauhid (syafa'at) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
03. Kitab Tauhid (Rasulullah tdk bisa memberi hidayah kecuali dg kehendak Allah) Ustad Agus
04. Tafsir QS. Al Baqarah 23-24 Ustad Abul Hasan Assidawi
05. Ushulus Sunnah (Mengikuti Sahabat Nabi) Ustad Abu Sufyan Al Musy
06. Ushulus Sunnah (Meninggalkan Bid'ah) Ustad Abu Sufyan  Al Musy
07. Ushulus Sunnah (Meninggalkan Debat) Ustad Abu Sufyan Al Musy
08. Ushulus Sunnah (Ittiba') Ustad Abu Sufyan Al Musy
09. Adabul Mufrod (berbakti kepada ibu) Ustad Abul Hasan Assidawi
10. Adabul Mufrod (berkata yg baik kepada kedua orang tua) Ustad Abul Hasan Assidawi
11.Riyadhus Shalihin (keutamaan lapar) Ustad Muhammad Irfan
12. Manhajus Salikin (sikap istri terhadap suami yg nuzhus) Ustad Abu Sufyan Al Musy
13. Manhajus Salikin (Talak) Ustad Abu Sufyan Al Musy
14. Perhiasan Penuntut Ilmu Ustad Abu Mas'ud Jarot
15. Hukum2 Penyembelihan Hewan Qurban Ustad Abu Sufyan Al Musy

Kamis, 06 November 2014

Silsilah: Agamaku Mengajarkanku … (Seri 10)

Silsilah-bagian10a

SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 10) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy
Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
Bagian ke 10:
Agamaku Mengajarkanku: bahwasanya akan datang sinun khodda’at  [1] dimana orang yang dungu akan berbicara tentang urusan orang banyak; (disebutkan) dari Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu, beliau berkata:
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ، يُصَدَّقُ فِيْهَا الكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيبِضَةُ». قيل: وما الرويبضةُ يارسولَ الله؟ قال: «السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ العَامَّةِ»
“Sesungguhnya nanti akan datang kepada manusia suatu masa yang menipu (sinun khodda’ah), pada masa itu pendusta akan dipercaya, dan pada masa itu orang yang jujur akan didustakan, dan pada masa itu pengkhianat akan diberi amanah, dan pada masa itu orang yang amanah akan dianggap khianat, dan pada masa itu Ruwaibidhoh akan berbicara”. Ditanyakan kepada beliau: dan apakah yang dimaksud dengan Ruwaibidhoh wahai Rosululloh? Beliau bersabda: “Orang yang dungu akan berbicara tentang urusan orang banyak “. [2]
___________
Catatan Kaki:
[1] Sinun Khodda’ah, dikatakan oleh as-Sindiy: dengan ditasydid huruf dal-nya untuk menunjukkan mubalaghoh (hiper), dikatakan: maksudnya ialah pada masa itu akan banyak hujan deras dan sedikit hujan rintik-rintiknya, dan itulah bentuk tipuannya, karena masa itu begitu diharapkan kebaikannya kemudian keadaan berbalik, dan ada yang menyatakan: yang dimaksud menipu ialah sedikitnya hujan, diambil dari kata: خدع الريق (keringat yang menipu) yakni apabila mengering. [Lihat: ta'liq al-Arnauth pada Musnad imam Ahmad (13/292) cet. Arrisalah]. Pent.
[2] HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh pentahqiq al-Musnad.

Rabu, 05 November 2014

Silsilah: Agamaku Mengajarkanku … (Seri 9)

Silsilah-bagian9a

SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 9) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy
Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
Bagian ke 9:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa manusia terbagi menjadi 2 golongan: hizbur rohman (golongan Alloh) dan hizbus syaithon (golongan setan), maka barangsiapa berjalan di atas Al-Qur’an yang agung dan As-Sunnah yang suci dengan bimbingan berdasarkan apa yang dibawa oleh kaum salaf dalam memahami keduanya dan mengamalkan keduanya – maka dia termasuk dari golongan Alloh, namun barangsiapa yang berjalan menyelisihi hal itu, maka dia telah mengikuti jalan hawa nafsu dan syahwatnya, serta telah terpedaya oleh tipuan, maka dia termasuk dari golongan setan;
Alloh تبارك وتعالى berfirman:
(وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ) [سورة المائدة : 56]
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” [Qs. Al-Maaìdah: 56]
Dan Alloh berfirman:
(إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ) [سورة فاطر : 6]
” Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”. [Qs. Faathir: 6]
Dan Alloh تبارك وتعالى berfirman:
(اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ) [سورة المجادلة : 19]
” Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” [Qs. Al-Mujaadilah: 19]
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
(لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) [سورة المجادلة : 22]
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [Qs. Al-Mujaadilah: 22]