Firman Allah Subhanahu wata'ala: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. At Taubah: 100)

Jumat, 28 November 2014

Rekaman Kajian Menganti-Cerme Gresik CD 05



01. Kitab Tauhid (larangan beribadah kpd Allah dikuburan_01) Ustad Agus Su'aidi
02. Kitab Tauhid (larangan beribadah kpd Allah dikuburan_02) Ustad Agus Su'aidi
03. Kitab Tauhid (Ghuluw trhd kuburan orang sholeh) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
04. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 27 Ustad Abul Hasan Assidawi
05. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 28 Ustad Abul Hasan Assidawi
06. Al Minzhaar (Thowaf di kuburan) Ustad Muhammad Irfan
07. Al Minzhaar (Ghuluw kepada orang2 sholeh) Ustad Muhammad Irfan
08. Al Minzhaar (Rukyah dan Jimat) Ustad Muhammad Irfan
09. Ushulus Sunnah (Larangan belajar debat) Ustad Abu Sufyan Al Musy
10. Ushulus Sunnah (Ru'yatullah) Ustad Abu Sufyan Al Musy
11. Ushulus Sunnah (Telaga Rasulullah dan Mizan) Ustad Abu Sufyan Al Musy
12. Adabul Mufrod (Membalas kebaikan kedua orang tua_1) Ustad Abul Hasan Assidawi
13. Adabul Mufrod (Membalas kebaikan kedua orang tua_2) Ustad Abul Hasan Assidawi
14. Minhajus Salikin (Li'an) Ustad Abu Sufyan Al Musy
15. Minhajus Salikin (Iddah_1) Ustad Abu Sufyan Al Musy
16. Minhajus Salikin (Iddah_2) Ustad Abu Sufyan Al Musy
17. Durusul Muhimmah (Konsekuensi Syahadatain) Ustad Abdul Latif
18. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_1) Ustad Abdul Latif
19. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_2) Ustad Abdul Latif
20. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_3) Ustad Abdul Latif
21. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_4) Ustad Abdul Latif
22. Durusul Muhimmah (Syarat Laa Ilaaha Ilallaah_5) Ustad Abdul Latif
23. Durusul Muhimmah (Muhammad Rasulullah) Ustad Abdul Latif
24. Durusul Muhimmah (Rukun Iman) Ustad Abdul Latif
25. Durusul Muhimmah (Beriman Kepada Allah Ta'ala) Ustad Abdul Latif
26. Durusul Muhimmah (Beriman kpd malaikat2 Allah) Ustad Abdul Latif
27. Durusul Muhimmah (Ikhlas sesuai dgn sunnah) Ustad Abdul Latif
28. Adabul Mufrod (memuliakan tamu) Ustad Abu Mas'ud Jarot
Bonus Track:
29. Syaikh Dr. Muhammad Bazmul (Muamalah sesama muslim_1)
30. Syaikh Dr. Muhammad Bazmul (Muamalah sesama muslim_2)
31. Syaikh Dr. Muhammad Bazmul (Muamalah sesama muslim_3)

Senin, 17 November 2014

Hal-hal Yang Memalingkan Dari Kebenaran – Bagian 8

Hal-hal Yang Memalingkan Dari Kebenaran-ujubHAL-HAL YANG MEMALINGKAN DARI KEBENARAN
Asy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
Kedelapan ~ Ujub
Ujub atau merasa kagum dan bangga dengan diri sendiri menjadikan pelakunya memuliakan dirinya sendiri, sehingga dia merasa senang dan cukup dengan apa yang dia miliki, akibatnya dia menganggap bahwa kebenaran tidak muncul kecuali dari dirinya, seakan-akan dia memang diberi tugas khusus untuk membawanya. Ini merupakan sifat orang-orang kafir sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوْا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُوْنَ.
“Maka tatkala para rasul yang diutus kepada mereka membawa keterangan-keterangan yang jelas, orang-orang kafir itu merasa senang dengan ilmu yang mereka miliki, akibatnya mereka ditimpa apa yang dahulu selalu mereka jadikan sebagai bahan olok-olokan.” (QS. Ghafir: 83)
Jika seseorang merasa kagum dengan dirinya dan merasa cukup dengan apa yang dia miliki, maka sempurna sudah kerugiannya, karena dia tidak akan mungkin menoleh kepada perkataan orang lain, apalagi menerimanya jika itu merupakan kebenaran.
Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ هَوًى مُتَّبَعًا، وَشُحًّا مُطَاعًا، وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ.
“Jika engkau melihat hawa nafsu diikuti, kekiriran ditaati, dan setiap orang yang punya pendapat merasa kagum dengan pendapatnya, maka hendaknya engkau mengurusi dirimu sendiri.” [1]
Orang yang kagum dengan dirinya sendiri hanya merasakan dirinya saja yang memiliki keuatamaan dan terus memperhatikannya, dan penilaian semacam ini mengakibatkan kekurangan dan tidak meraih keutamaan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:
أَلَا تَرَى أَنَّ الَّذِيْ يُعَظِّمُ نَفْسَهُ بِالْبَاطِلِ يُرِيْدُ أَنْ يَنْصُرَ كُلَّ مَا قَالَهُ وَلَوْ كَانَ خَطَأً.
“Tidak engkau perhatikan bahwa orang yang memuliakan dirinya sendiri walaupun dengan kebathilan, dia ingin membela semua yang dia katakan walaupun salah.” [3]
Bahkan seandainya dia benar dan berani terang-terangan menampakkan kebenaran, maka hendaklah dia mewaspadai sifat ujub, karena seringnya hal itu akan merusak buah dari amal shalihnya.
Al-Hafizh Adz-Dzahaby rahimahullah berkata:
فَكَمْ مِنْ رَجُلٍ نَطَقَ بِالْحَقِّ وَأَمَرَ بِالمَعْرُوْفِ، فَيُسَلِّطُ اللهُ عَلَيْهِ مَنْ يُؤذِيْه لِسُوْءِ قَصْدِهِ وَحُبِّهِ لِلرِّئَاسَةِ الدِّيْنِيَّة، فَهَذَا دَاءٌ خَفِيٌّ سَارٍ فِيْ نُفُوْسِ الفُقَهَاءِ.
“Betapa banyak orang yang berbicara benar dan memerintahkan yang ma’ruf, namun Allah menguasakan atasnya orang yang menyakiti dirinya disebabkan buruknya niat dia dan senangnya dia terhadap kepemimpinan dalam urusan agama. Jadi semacam ini merupakan penyakit tersembunyi yang menjalar di hati para ulama.” [4]
Jiwa tabiatnya tidak mau tunduk dan mengikuti kebenaran dan tertanam padanya jenis kesombongan dan membela orang yang menyelisihi kebenaran, kecuali yang yang dilindungi oleh Allah. Terlebih lagi orang yang tidak pernah duduk bermajelis dengan orang-orang yang menjadi teladan dari orang-orang yang jika mereka diingatkan dengan ayat-ayat Allah mereka tidak menyikapinya seperti orang tuli dan buta.
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:
لَوْ أَنَّ الْمُبْتَدِعَ تَوَاضَعَ لِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ لَاتَّبَعَ وَمَا ابْتَدَعَ، وَلَكِنَّهُ أُعْجِبَ بِرَأْيِهِ فَاقْتَدَى بِمَا اخْتَرَعَ.
“Seandainya seorang mubtadi’ tawadhu’ kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, niscaya dia akan mengikuti kebenaran dan tidak akan mengada-adakan bid’ah, tetapi dia merasa kagum dengan pendapatnya sehingga lebih mengikuti apa yang dia buat-buat.” [5]
Beliau juga mengatakan tentang tawadhu’:
أَنْ تَخْضَعَ لِلْحَقِّ وَتَنْقَادَ لَهُ مِمَّنْ سَمِعْتَهُ وَلَوْ كَانَ أَجْهَلَ النَّاسِ لَزِمَكَ أَنْ تَقْبَلَهُ مِنْهُ.
“Yaitu dengan engkau tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa saja yang engkau dengar, walaupun dia adalah manusia yang paling bodoh maka kebenaran itu wajib engkau terima darinya.” [6]
Sifat ujub akan menyebabkan pemiliknya tidak mau meminta pertolongan kepada Rabbnya, hal itu karena dia mengandalkan dirinya sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَالْعُجْبُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالنَّفْسِ وَهَذَا حَالُ الْمُسْتَكْبِرِ، فَالْمُرَائِي لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ} وَالْمُعْجَبُ لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: {وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
“Ujub termasuk perbuatan menyekutukan Allah dengan diri sendiri, dan ini merupakan keadaan orang yang sombong. Jadi kalau orang yang beramal karena riya’ dia tidak merealisasikan firman Allah: “Hanya kepada-Mu kami beribadah”, sedangkan orang yang ujub tidak merealisasikan firman-Nya: “Hanya kepada-Mu memohon pertolongan.” [7]
Sifat ujub dan sombong saling berkaitan erat, jadi tidaklah ditimpa sifat ujub kecuali orang yang sombong.
Ibnu Hibban rahimahullah berkata:
إِنَّهُ لَا يَتَكَّبَرُ عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يُعْجَبَ بِنَفْسِهِ وَيَرَى لَهَا عَلَى غَيْرِهَا الْفَضْلَ.
“Sesungguhnya seseorang tidak akan menyombongkan diri kepada seorang pun hingga dia merasa kagum dengan dirinya dan menganggap dirinya memiliki keutamaan atas orang lain.” [8]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وَأَمَّا الْكِبْرُ فَأَثَرٌ مِنْ آثَارِ الْعُجْبِ وَالْبَغْيِ مِنْ قَلْبٍ قَدْ امْتَلَأَ بِالْجَهْلِ وَالظُّلْمِ وَتَرَحَّلَتْ مِنْهُ الْعُبُوْدِيَّةُ وَنَزَلَ عَلَيْهِ الْمَقْتُ فَنَظَرُهُ إِلَى النَّاسِ شَزْرٌ وَمَشْيُهُ بَيْنَهُمْ تَبَخْتُرٌ وَمُعَامَلُتُهُ لَهُمْ مُعَاملَةُ الْإِسْتِئْثَارِ لَا الْإِيْثَارِ وَلَا الْإِنْصَافِ.
“Adapun kesombongan maka hal itu termasuk salah satu pengaruh dari sifat ujub dan melanggar hak orang lain yang muncul dari hati yang penuh kebodohan dan kezhaliman, sifat sebagai seorang hamba telah meninggalkan hati tersebut dan kemurkaan telah menimpanya, akibatnya pandangan dia kepada manusia adalah pandangan merendahkan, cara berjalan dia di tengah-tengah mereka penuh kecongkakan, dan cara bermuamalah dengan mereka seperti orang yang mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain serta tidak bersikap adil.” [9]
Seorang hamba tabi’at dasarnya mencintai dirinya dan merasa kagum dengan dirinya, maka jika seorang hamba tidak bersikap adil dalam menilai dirinya, hal itu akan menjerumuskannya ke dalam berbagai kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَحُبُّكُ الشَّيْءَ يُعْمِيْ وَيُصِمُّ، وَالْإِنْسَانُ مَجْبُوْلٌ عَلَى مَحَبَّةِ نَفْسِهِ فَهُوَ لَا يَرَى إِلَّا مَحَاسِنَهَا، وَمُبْغِضٌ لِخَصْمِهِ فَلَا يَرَى إِلَّا مَسَاوِئَهُ.
“Kecintaanmu kepada sesuatu bisa membuatmu buta dan tuli, dan manusia tabiat dasarnya mencintai dirinya sehingga dia tidak melihat kecuali kebaikan-kebaikan dirinya, dan tabiat dasarnya membenci musuhnya sehingga dia tidak melihat kecuali keburukan-keburukan musuhnya.” [10]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menjelaskan tawadhu’:
أَنْ يَتَلَقَّى سُلْطَانَ الْحَقِّ بِالْخُضُوْعِ لَهُ وَالذُّلِّ وَالْإِنْقِيَادِ وَالدُّخُوْلِ تَحْتَ رِقِّهِ. بِحَيْثُ يَكُوْنُ الْحَقُّ مُتَصَرِّفًا فِيْهِ تَصَرُّفَ الْمَالِكِ فِيْ مَمْلُوْكِهِ. فَبِهَذَا يَحْصُلُ لِلْعَبْدِ خُلُقُ التَّوَاضُعِ. وَلِهَذَا فَسَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكِبْرَ بِضِدِّهِ. فَقَالَ: «الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ» فَبَطْرُ الْحَقِّ: رَدُّهُ وَجَحْدُهُ، وَالدَّفْعُ فِي صَدْرِهِ. كَدَفْعِ الصَّائِلِ. وَغَمْطُ النَّاسِ: احْتِقَارُهُمْ وَازْدِرَاؤُهُمْ. وَمَتَى احْتَقَرَهُمْ وَازْدَرَاهُمْ: دَفَعَ حُقُوقَهُمْ. وَجَحَدَهَا، وَاسْتَهَانَ بِهَا. وَلَمَّا كَانَ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالٌ وَصَوْلَةٌ: كَانَتِ النُّفُوْسُ الْمُتَكَبِّرَةُ لَا تَقَرُّ لَهُ بِالصَّوْلَةِ عَلَى تِلْكَ الصَّوْلَةِ الَّتِيْ فِيْهَا، وَلَا سِيَّمَا النُّفُوْسَ الْمُبْطِلَةَ. فَتَصُوْلُ عَلَى صَوْلَةِ الْحَقِّ بِكِبْرِهَا وَبَاطِلِهَا. فَكَانَ حَقِيْقَةُ التَّوَاضُعِ: خُضُوْعَ الْعَبْدِ لِصَوْلَةِ الْحَقِّ، وَانْقِيَادَهُ لَهَا. فَلَا يُقَابِلُهَا بِصَوْلَتِهِ عَلَيْهَا.
“Menerima kekuatan kebenaran dengan penuh ketundukan, merendahkan diri, patuh, dan masuk di bawah kendalinya, yaitu dengan cara kebenaran mengatur dirinya seperti seorang raja yang mengatur kerajaannya. Dengan inilah seorang hamba bisa meraih akhlak tawadhu’. Oleh karena inilah Nabi shallallahu alaihi was sallam menjelaskan bahwa kesombongan dengan sesuatu yang menjadi lawannya, yaitu dalam sabda beliau: “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Makna (بَطَرُ الْحَقِّ) adalah menolak kebenaran, menentangnya, dan mengusirnya seperti mengusir orang yang hendak berbuat jahat.
Sedangkan makna (غَمْطُ النَّاسِ) adalah merendahkan manusia dan meremehkan mereka. Dan kapan saja seseorang merendahkan manusia dan meremehkan mereka, maka dia akan menolak hak-hak mereka, menentangnya, dan menghinanya.
Tatkala seseorang yang di atas kebenaran memiliki kemampuan menyampaikan argumentasi dan kekuatan, maka jiwa-jiwa yang sombong tidak mau mengakui kekuatannya terhadap kekuatan yang dia miliki, terlebih lagi jiwa-jiwa pengusung kebathilan, mereka akan menyerang kekuatan kebenaran dengan kesombongan dan kebathilannya.
Maka hakikat tawadhu’ adalah ketundukan seorang hamba terhadap kekuatan kebenaran dan patuh kepadanya, jadi dia tidak akan melawannya dengan kekuatan yang dia miliki.
–selesai perkataan Ibnul Qayyim–
Bersambung In Syaa Allah
Jum’at, 14 Muharram 1436 H
****************************
Catatan kaki:
  1. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Malahim (IV/512 no. 4341), At-Tirmidzy dalam kitab At-Tafsir (V/257-258), dan Al-Hakim (IV/322) dan dinilai shahih olehnya dan disepakati oleh Adz-Dzahaby, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyany.
    (Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah menilai hadits ini lemah dalam Silsilah Adh-Dhai’ifah no. 1025 –pent)
  2. Iqtidhaa’us Shiraathil Mustaqiim (I/453).
  3. Majmuu’ul Fataawaa (X/292).
  4. Siyar A’laamin Nubalaa’ (XVIII/192).
  5. At-Tadzkirah fil Wa’zhi, hal. 97.
  6. Jaami’ Bayaaninil ‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 226.
  7. Al-Fataawaa Al-Kubraa, V/247-248.
  8. Raudhatul ‘Uqalaa’, hal. 61.
  9. Ar-Ruuh, II/703.
  10. Qaa’idah Fil Mahabbah (II/328).
  11. Madaarijus Saalikin (II/246).

Senin, 10 November 2014

Rekaman Kajian Menganti-Cerme Gresik CD 04



01. Kitab Tauhid (Sebab Kesyirikan Bani Adam) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
02. Kitab Tauhid (Sebab Kesyirikan Bani Adam_2) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
03. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 25 Ustad Abul Hasan Assidawi
04. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 26 Ustad Abul Hasan Assidawi
05. Al Minzhaar (Muqaddimah) Ustad Muhammad Irfan
06. Al Minzhaar (Sembelihan Untuk Selain Allah) Ustad Muhammad Irfan
07. Ushulus Sunnah (Beriman kepada takdir) Ustad Abu Sufyan Al Musy
08. Ushulus Sunnah (Beralasan dg Takdir untuk kemaksiatan) Ustad Abu Sufyan Al Musy
09. Ushulus Sunnah (Menerima semua hadits nabi yg shahih) Ustad Abu Sufyan Al Musy
10. Adabul Mufrod (Berkata yg baik kpd kedua orang tua_2) Ustad Abul Hasan Assidawi
11. Adabul Mufrod (Berkata yg baik kpd kedua orang tua_3) Ustad Abul Hasan Assidawi
12. Manhajus Salikin (Talak_2) Ustad Abu Sufyan Al Musy
13. Manhajus Salikin (Ila') Ustad Abu Sufyan Al Musy
14. Manhajus Salikin (Zhihar) Ustad Abu Sufyan Al Musy
15. Perhiasan Penuntut Ilmu_2 Ustad Abu Mas'ud Jarot
16. Durusul Muhimmah (Muqaddimah) Ustad Abdul Latif
17. Durusul Muhimmah (Laa ilaha ilallaah) Ustad Abdul Latif
18. Jihadun Nafs_1 Syaikh Ubaid Al Jabiri
19. Jihadun Nafs_2 Syaikh Ubaid Al Jabiri

Jumat, 07 November 2014

Rekaman Kajian Menganti-Cerme Gresik CD 03



01. Kitab Tauhid (malaikat bersujud kepada Allah Ta'ala) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
02. Kitab Tauhid (syafa'at) Ustad Agus Su'aidi Assidawi
03. Kitab Tauhid (Rasulullah tdk bisa memberi hidayah kecuali dg kehendak Allah) Ustad Agus
04. Tafsir QS. Al Baqarah 23-24 Ustad Abul Hasan Assidawi
05. Ushulus Sunnah (Mengikuti Sahabat Nabi) Ustad Abu Sufyan Al Musy
06. Ushulus Sunnah (Meninggalkan Bid'ah) Ustad Abu Sufyan  Al Musy
07. Ushulus Sunnah (Meninggalkan Debat) Ustad Abu Sufyan Al Musy
08. Ushulus Sunnah (Ittiba') Ustad Abu Sufyan Al Musy
09. Adabul Mufrod (berbakti kepada ibu) Ustad Abul Hasan Assidawi
10. Adabul Mufrod (berkata yg baik kepada kedua orang tua) Ustad Abul Hasan Assidawi
11.Riyadhus Shalihin (keutamaan lapar) Ustad Muhammad Irfan
12. Manhajus Salikin (sikap istri terhadap suami yg nuzhus) Ustad Abu Sufyan Al Musy
13. Manhajus Salikin (Talak) Ustad Abu Sufyan Al Musy
14. Perhiasan Penuntut Ilmu Ustad Abu Mas'ud Jarot
15. Hukum2 Penyembelihan Hewan Qurban Ustad Abu Sufyan Al Musy

Kamis, 06 November 2014

Silsilah: Agamaku Mengajarkanku … (Seri 10)

Silsilah-bagian10a

SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 10) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy
Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
Bagian ke 10:
Agamaku Mengajarkanku: bahwasanya akan datang sinun khodda’at  [1] dimana orang yang dungu akan berbicara tentang urusan orang banyak; (disebutkan) dari Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu, beliau berkata:
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ، يُصَدَّقُ فِيْهَا الكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيبِضَةُ». قيل: وما الرويبضةُ يارسولَ الله؟ قال: «السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ العَامَّةِ»
“Sesungguhnya nanti akan datang kepada manusia suatu masa yang menipu (sinun khodda’ah), pada masa itu pendusta akan dipercaya, dan pada masa itu orang yang jujur akan didustakan, dan pada masa itu pengkhianat akan diberi amanah, dan pada masa itu orang yang amanah akan dianggap khianat, dan pada masa itu Ruwaibidhoh akan berbicara”. Ditanyakan kepada beliau: dan apakah yang dimaksud dengan Ruwaibidhoh wahai Rosululloh? Beliau bersabda: “Orang yang dungu akan berbicara tentang urusan orang banyak “. [2]
___________
Catatan Kaki:
[1] Sinun Khodda’ah, dikatakan oleh as-Sindiy: dengan ditasydid huruf dal-nya untuk menunjukkan mubalaghoh (hiper), dikatakan: maksudnya ialah pada masa itu akan banyak hujan deras dan sedikit hujan rintik-rintiknya, dan itulah bentuk tipuannya, karena masa itu begitu diharapkan kebaikannya kemudian keadaan berbalik, dan ada yang menyatakan: yang dimaksud menipu ialah sedikitnya hujan, diambil dari kata: خدع الريق (keringat yang menipu) yakni apabila mengering. [Lihat: ta'liq al-Arnauth pada Musnad imam Ahmad (13/292) cet. Arrisalah]. Pent.
[2] HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh pentahqiq al-Musnad.

Rabu, 05 November 2014

Silsilah: Agamaku Mengajarkanku … (Seri 9)

Silsilah-bagian9a

SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 9) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy
Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
Bagian ke 9:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa manusia terbagi menjadi 2 golongan: hizbur rohman (golongan Alloh) dan hizbus syaithon (golongan setan), maka barangsiapa berjalan di atas Al-Qur’an yang agung dan As-Sunnah yang suci dengan bimbingan berdasarkan apa yang dibawa oleh kaum salaf dalam memahami keduanya dan mengamalkan keduanya – maka dia termasuk dari golongan Alloh, namun barangsiapa yang berjalan menyelisihi hal itu, maka dia telah mengikuti jalan hawa nafsu dan syahwatnya, serta telah terpedaya oleh tipuan, maka dia termasuk dari golongan setan;
Alloh تبارك وتعالى berfirman:
(وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ) [سورة المائدة : 56]
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” [Qs. Al-Maaìdah: 56]
Dan Alloh berfirman:
(إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ) [سورة فاطر : 6]
” Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”. [Qs. Faathir: 6]
Dan Alloh تبارك وتعالى berfirman:
(اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ) [سورة المجادلة : 19]
” Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” [Qs. Al-Mujaadilah: 19]
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
(لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) [سورة المجادلة : 22]
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [Qs. Al-Mujaadilah: 22]

Silsilah: Agamaku Mengajarkanku … (Seri 8)

Silsilah-bagian8a

SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 8) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy
Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
Bagian ke 8:
Agamaku Mengajarkanku: agar aku bersungguh-sungguh untuk mengeluarkan intisari 99 nama bagi Alloh Azza wa Jalla dari Al-Qur’an yang mulia dan As-Sunnah yang suci, semoga dengan itu menjadi sebab masuknya aku ke dalam surga; dan sungguh nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
«إنّ للّهِ تسعةً وتسعين اسْماً مَن أحصاها دخل الجنّة».
“Sesungguhnya bagi Alloh ada 99 nama, barangsiapa menghitungnya dia akan masuk surga”.
Dan telah diketahui bahwa nama-nama Alloh banyak, sebagaimana tersebut di dalam sebuah hadits dari Abdillah (Ibnu Mas’ud, pent) beliau berkata:
Bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
«ما أصاب أحداً قَطُّ همٌّ ولا حزنٌ، فقال: اَللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ،نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ القُرآنَ رَبِيْعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلاَءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي، إلاّ أذهب الله همّه وحزنَه، وأبدله مكانه فرحاً». قال: فقيل: يارسول الله، ألا نتعلّمها؟ فقال: «بلى، ينبغي لمن سمعها أن يتعلّمها».
“Tidaklah seseorang pun tertimpa kegundahan dan kesedihan, kemudian dia memanjatkan doa: ya Alloh, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra hamba-Mu, putra budak-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, telah tetap hukum-Mu pada diriku, adil ketetapan-Mu pada diriku, aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang Kau miliki yang Kau namakan untuk diri-Mu, atau yang telah Kau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Kau turunkan di dalam kitab suci-Mu, atau yang Kau rahasiakan di dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu, agar Kau jadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penebus kesedihanku, dan penghilang kegundahanku, melainkan Alloh akan hilangkan kegundahannya dan kesedihannya, dan menggantikannya dengan kebahagiaan”. Ibnu Mas’ud berkata: ditanyakan: wahai Rosululloh, tidakkah kami mempelajarinya? Maka beliau bersabda: “Tentu, seharusnya bagi siapa saja yang mendengarnya untuk mempelajarinya”.  [1]
Dan wajib baginya karena yang dimaksud ialah bahwa wajib bagi setiap muslim untuk bersungguh-sungguh di dalam mengintisarikan nama-nama ini yang sembilan puluh sembilan; agar mendapatkan keutama yang melimpah ini:
«من أحصاها دخل الجنة».
“Barangsiapa yang menghitungnya dia akan masuk surga”.
✸ ✸ ✸
Catatan Kaki:
[1] Hadits hasan li ghoirih, lihat Musnad Ahmad (cet. Ar-Risalah 6/246, hadits no. 3712)

Silsilah: Agamaku Mengajarkanku … (Seri 7)

Silsilah-bagian7a

SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 7) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy
Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
Bagian ke 7:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa mimpi adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian dari kenabian, dan bahwasanya orang yang menafsirkan mimpi untukku terkadang benar dan terkadang salah, sehingga dalam masalah tersebut tidaklah menentu, seakan-akan mimpi berada pada sayap seekor burung, apabila ditafsirkan dengan tafsiran yang benar dan terjadi itu artinya dia melihat tafsirannya;
Diriwayatkan dari Waqi’ bin ‘Udus, dari pamannya Abu Rozin, beliau katakan: telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
«الرؤيا على رِجل طائرٍ ما لم تُعَبَّر فإذا عبّرت وقعت» قال: وأحسبه قال: «ولا يقصها إلا على وادّ أو رأي»
“Mimpi berada pada kaki seekor burung selama belum ditafsirkan dan apabila telah ditafsirkan maka (ingin segera) terjadi. Abu Rozin mengatakan: aku mengira bahwa beliau bersabda: dan jangan diceritakan mimpi tersebut kecuali kepada orang yang cinta (kepadamu) atau kepada orang yang memiliki kemampuan (menafsirkan mimpi)”.  [1]
Dan diriwayatkan oleh imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas rodhiallohu ‘anhuma: bahwa ada seseorang yang mendatangi Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan berkata: sungguh aku melihat tadi malam di dalam mimpi sebuah awan yang meneteskan minyak samin dan madu, dan aku melihat manusia menampung darinya dengan tangan-tangan mereka, maka ada yang mendapatkan banyak dan ada yang sedikit, dan (aku melihat) tali yang bersambung dari bumi ke langit, kemudian aku melihat engkau memegang tali tersebut dan engkau pun naik, kemudian orang lain memegangnya dan naik, kemudian orang lain memegangnya dan naik, kemudian orang lain memegangnya dan terputus kemudian disambungkan (kembali). Maka Abu Bakar rodhiallohu ‘anhu berkata: wahai Rosululloh, demi (Alloh) yang ayahku (sebagai tebusannya) bagimu, demi Alloh sungguh biarkan aku yang akan menafsirkannya.
Maka nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengatakan: tafsirkanlah dia! Adapun awan maksudnya ialah Islam. Adapun yang meneteskan minyak samin dan madu adalah Al-Qur’an; rasa manisnya yang akan menetes, sehingga ada yang mendapatkannya banyak dari Al-Qur’an dan ada yang sedikit; dan adapun tali yang menyambung dari langit hingga ke bumi adalah al-Haq (kebenaran) yang engkau pegang, engkau memegangnya hingga Alloh naikkan dirimu, kemudian dipegang oleh orang setelahmu hingga dia pun terangkat, kemudian dipegang oleh orang lainnya hingga terangkat, kemudian dipegang oleh lainnya dan terputus, kemudian disambung kembali dan dia pun terangkat karenanya; maka beritahukan aku wahai Rosululloh -demi (Alloh) yang ayahku dan ibuku (sebagai tebusannya) – apakah (tafsirku) telah benar atau keliru?
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
أصبتَ بعضاً وأخطأتَ بعضاً
“Kamu telah benar sebagiannya dan keliru sebagian (lainnya) “.
Abu Bakar berkata: dan demi Alloh wahai Rosululloh, sungguh beritahukan kepadaku tentang kesalahanku? Beliau bersabda: “jangan kamu bersumpah”.
Maka hadits ini merupakan nash (dalil secara text) yang menerangkan bahwa di dalam menafsirkan mimpi ada yang benar dan ada yang selain itu, dan jika sekiranya maknanya ialah bahwa mimpi (pasti) akan terjadi seperti apa yang telah ditafsirkan oleh orang yang menafsirkannya tentulah tidak ada faedahnya sabda beliau yang menyatakan: “kamu telah benar sebagiannya dan telah keliru sebagian (lainnya). Kemudian apa pula manfaatnya untuk merujuk kepada para penafsir mimpi jika mimpi (pasti) akan terjadi sebagaimana ditafsirkan oleh orang yang menafsirkannya?!
✸ ✸ ✸
_____
[1] HR. Ahmad dan Abu Daud serta Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya.

SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 4-6)

Agamaku Mengajarkanku
SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 4-6) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy

Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
Bagian ke 4:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa umur manusia tidaklah diukur dengan hari dan bulan maupun tahun, akan tetapi diukur dengan amalan sholeh, demikian pula dengan harta tidaklah dihitung dengan apa yang telah dia tinggalkan untuk (orang-orang) sepeninggalnya, akan tetapi yang akan terwarisi darinya adalah apa yang telah dia infaqkan di jalan ketaatan kepada Alloh dan mendekatkan diri kepada-Nya سبحانه.
✸ ✸ ✸
Bagian ke 5:
Agamaku mengajarkanku: bahwa berbakti kepada kedua orangtua dan berlaku adil dalam bermu’amalah bagian dari sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan bahwasanya durhaka kepada orangtua dan perbuatan kezhaliman termasuk dari dosa-dosa yang akibat (balasan) dari kedua perbuatan itu akan disegerakan di dunia; (disebutkan) dari Abu Bakroh dari nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
«مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ الله لِصَاحِبِهِ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يُدَخِّرُ لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ قَطِيْعَةِ الرَّحِمِ وَالبَغْيِ»
“Tidak ada dari satu dosa pun yang lebih pantas untuk Alloh segerakan balasannya di dunia bersama dengan apa yang akan dia dapatkan di akhirat dari pemutus tali persaudaraan dan kezhaliman.” [1] Dan yang pertama dari tali persaudaraan setiap muslim yang diperintahkan untuk menyambungnya ialah kepada kedua orangtua.
✸ ✸ ✸
Bagian ke 6:
Agamaku Mengajarkanku: sesungguhnya kita mana kala beranjak dewasa maka semakin banyak keinginan kita, dan keinginan kita yang terbesar akan terpusat pada satu bentuk, itulah keinginan kita yang terbesar, sehingga ada diantara orang yang semakin beranjak dewasa semakin banyak keinginannya terhadap dunia, terhadap perniagaan, pada segala bidang yang dia lihat dari urusan-urusan dunia, dan diantara orang ada yang semakin beranjak dewasa semakin besar pula keinginannya di dalam mempersiapkan diri untuk akhiratnya, dan beramal untuknya, maka (kelompok) pertama tujuan ilmunya adalah dunia, dan keinginan terbesarnya adalah dunia, sedangkan (kelompok) kedua tujuan ilmunya adalah akhirat, dan keinginan terbesarnya adalah akhirat dan memperbekali diri untuk akhirat. Maka demikianlah seharusnya kita.
Dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh Albani dari Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu beliau berkata: “Jarang sekali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berdiri meninggalkan majelis hingga beliau berdoa dengan doa-doa tersebut untuk para sahabatnya:
اللَّهم اقْسِم لنا من خشيتِك ما يحُول بيننا وبين معاصيك، ومن طاعتِك ما تُبلِّغنا به جنّتَك، ومن اليقينِ ما تُهوِّن به علينا مصائبَ الدنيا، اللَّهم أَمتِعْنا بأسماعِنا، وأبصارِنا، وقوّتِنا ما أحييتَنا، واجعلْه الوارثَ منا، واجعلْ ثأرَنا على مَن ظلمنا، وانصرْنا على مَن عادانا، ولا تجعَلْ مصيبتَنا في دينِنا، ولا تجعَلِ الدنيا أكبرَ همّنا، ولا مبلغَ علمنا، ولا تسلّط علينا مَن لا يرحمنا
“Ya Alloh, jadikanlah rasa takut kepada-Mu sebagai penghalang antara kami dengan kemaksiatan, dan jadikan ketaatan kepada-Mu bahagian yang dapat menghantarkan kami kepada surga-Mu, dan jadikan keyakinan kami bahagian yang meringankan musibah dunia yang menimpa kami, dan jadikanlah kami senang dengan pendengaran kami dan penglihatan kami serta kekuatan kami sepanjang hidup kami, dan jadikanlah ia terjaga untuk kami sepanjang hidup kami, dan jadikanlah ia terjaga untuk kami (dan orang-orang setelah kami, pent), dan jadikanlah tuntutan balasan kami hanya bagi orang-orang yang menzhalimi kami saja, dan tolonglah kami atas orang-orang yang memusuhi kami, dan jangan Engkau jadikan musibah yang menimpa kami (mengurangi) keagamaan kami, dan jangan Engkau jadikan dunia sebagai keinginan terbesar kami, dan tujuan dari ilmu kami, dan jangan Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami”.
—————–
[1] Diriwayatkan oleh ashabus sunan kecuali Nasaai, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim serta Albani di dalam as-Shohihah (91).